TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak tahun 2016, adalah peluang yang jika dimanfaatkan dengan baik sangat menguntungkan masyarakat Indonesia. Jadi, bukan hal yang harus ditakuti. Meskipun, saat ini MEA masih menjadi isu yang elitis, tak banyak dimengerti oleh masyarakat lapisan bawah, tetapi dampaknya konkret.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Yaqut Cholil Qoumas yang biasa disapa Gus Tutut, saat membuka diskusi bertema, “MEA, Antara Peluang dan Tantangan”, di Kantor GP Ansor, Jumat (11/3/2016).
“Kalau kita ikuti kata kyai dari dulu, kita tak perlu pikirkan soal MEA ini,” kata Yaqut. Ia menjelaskan, KH Mahfudz Shiddiq, salah satu tokoh PBNU, selalu mengajarkan agar kita menjadi manusia yang siap. Jika menjadi orang yang siap dengan segala tantangan dalam hidup, sama sekali tak ada masalah berhadapan dengan era MEA.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa tersebut berharap tak cuma ketakutan-ketakutan yang mencuat ke permukaan soal MEA, tetapi juga mengenai optimisme dan peluang yang ada di dalamnya. “Bukan barang baru ini kalau kita ikuti kata kyai dulu. Sekarang mau tak mau, kita harus siap,” katanya.
Diskusi tersebut juga dihadiri oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, M Hanif Dhakhiri, Senior Advisior Ancol Terang Group, Sedyana Pradjasentosa. Sementara Ketua Bidang Ekonomi PP GP Ansor, Sumantri Suwarno bertindak sebagai moderator diskusi.
Menteri Hanif Dhakhiri mengakui MEA masih menjadi isu elitis saat ini, namun pengaruhnya nyata. Namun, Hanif berharap GP Ansor dan masyarakat luas tak terlalu takut dengam era MEA.
“Ini adalah kerja sama antara negara-negara ASEAN di satu sisi, tapi ada persaingan juga dalam kerja sama itu. Partnership in Competition dan sebaliknya, Competition in Partnership,” kata Hanif.
Hal yang harus dicermati, jelasnya, bagaimana upaya agar masyarakat Indonesia menjadi pemain kunci dalam MEA, bukan malah sebagai penonton. Upaya itu terutama meningkatkan daya saing di semua bidang, khususnya sektor industri dan tenaga kerja. Ukuran daya saing bidang industri bisa terlihat pada kualitas produk, harga dan distribusinya. Jika kualitas produk kurang bagus, harga mahal dan distribusinya lama, otomatis akan kalah bersaing dengan industri dari negara lain.
Sedangkan pada sektor tenaga kerja, kompetensi, kemampuan menggunakan teknologi dan sertifikasi sangat diperlukan. Ia membandingakan tenaga kerja di era MEA seperti ring tinju. Seseorang tak cukup hanya jago tinju, tetapi harus memenuhi syarat dan kualifikasi administrasi serta teknis untuk bisa masuk dalam ring tinju.
Banyak petani tembakau di Jawa, kata Hanif, memiliki kemampuan hanya dengan memegang dan mencium daun tembakau untuk memastikan kualitas daun tembakau yang bermutu. Namun, mereka tak bisa menduduki jabatan Analis Daun di perusahaan rokok karena tidak memiliki sertifikasi. “Ke depan, kita sertifikatkan. Di negara maju sudah ada jabatan wine tester di perusahaan minuman. Itu nggak ada sekolahnya, tapi hanya dengan sertifikasi,” katanya.
Secara umum, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut menilai, Indonesia siap jalankan MEA. Tak ada yang ditakut-takuti, dihindari apalagi dilebih-lebihkan soal adanya tenaga kerja asing masuk Indonesia. Tenaga kerja asing tak bisa membuat usaha mandiri, tetapi harus kerja sama dengan perusahaan di Indonesia.
“Orang Indonesia saja ada sekitar dua juta orang kerja di Malaysia. Itu sebelum ada MEA lho. Jadi, nggak usah takut. Kita hanya tinggal tingkatkan kemampuam kita saja,” kata Hanif Dhakiri.