TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menaikkan syarat bagi calon independen yang dimaksudkan untuk mempersulit dalam kepesertaan dalam Pilkada 2017 sangat tidak elegan karena menunjukkan ketakutan partai yang tidak memiliki kader yang layak untuk dipilih.
Mengingat pilkada adalah pesta demokrasi, maka rakyat harus diberi kesempatan untuk memilih kepala daerahnya sesuai dengan hati nuraninya.
KPU.GO.ID - Tabel data pilkada yang diolah Sinaksak Center, Jumat (18/3/2016).
Para pemimpin partai juga harus belajar dari Pilkada 2015 yang hasilnya sungguh mengkhawatirkan terhadap masa depan partai dan sekaligus merupakan tanda-tanda lonceng kematian partai.
Peneliti Sinaksak Center, DR Osbin Samosir menyampaikan hal itu menanggapi rencana sejumlah partai di DPR RI untuk menaikkan syarat calon independen dalam Pilkada serentak 2017, Jumat (18/3/2016) melalui keterangannya pada Tribunnews.com.
Dijelaskan, hak calon independen untuk maju dalam pilkada harus dibuka seluas-luasnya di tengah semakin merosotnya kepercayaan masyarakat kepada pasangan calon yang diusung oleh partai politik.
“Fenomena Ahok yang mendapat dukungan luas dari masyarakat untuk maju menjadi gubernur DKI Jakarta dari calon independen justru harus menjadi koreksi bagi partai politik."
"DPR RI sangat tidak bijak jika mengusulkan syarat pencalonan yang memberatkan calon independen hanya ketika semakin bertumbuh calon independen yang mampu memikat hati publik,” ujar Osbin Samosir.
Jika partai-partai merasa syarat pencalonan untuk partai politik dianggap terlalu berat, Osbin mengurai lebih lanjut, sebaiknya diturunkan saja persentase persyaratannya dan bukan malah memperberat persyaratan bagi para calon independen.
Ia mengambil contoh, semua partai yang memiliki anggota legislatif di DPR RI memiliki hak untuk memajukan satu calon dalam pilkada.
Sehingga ada ada banyak calon dari partai dan dari unsur independen, lalu biarkan banyak calon kepala daerah yang bertanding secara sehat.
Semakin banyak calon maka akan semakin banyak pilihan warga.
“Yang memberi penilaian atas calon yang paling pantas menjadi gubernur atau bupati/walikota akan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri."
"Itu jauh lebih fair daripada justru mempersulit calon independen,” kata Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia itu.
Selain itu, Osbin juga mengingatkan kembali tentang sejarah awal lahirnya calon independen.
Pemaknaan demokrasi adalah memberikan seluas-luasnya kesempatan kepada seluruh warga untuk memilih pemimpin terbaik diantara mereka.
Dalam demokrasi modern, kesempatan itu kemudian diberikan kepada partai politik sebagai pilar demokrasi dengan sejumlah kewenangan kepada legislatif terpilih.
Sejumlah kewenangan dimaksud misalnya, kewenangan urusan legislasi, anggaran, pengawasan dan lain lain.
Tetapi sasaran utamanya adalah partai politik sebagai corong harus dioptimalkan agar kepentingan masyarakat luas diakomodir menjadi arah kebijakan pemerintah pusat dan local.
Tujuannya hanya satu yakni bagaimana mendekatkan keinginan masyarakat luas sejajar dengan yang dirumuskan oleh pemerintah.
Pria asal Sumatera Utara ini menegaskan juga, pengalaman pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun dan Orde Reformasi yang sedang berlangsung hendaknya menjadi pelajaran dengan harapan pemerintah dan partai politik bersama-sama mampu merumuskan serta memenuhi keinginan masyarakat luas sebagai pemilih.
Perlu diingat juga, satu-satunya harapan dari setiap pembentukan negara adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas dengan cara memberi pelayanan semaksimal kepada masyarakat
Yang perlu dicatat adalah, Osbin mengingatkan, kebanggaan demokrasi Indonesia adalah ketika pemilih diberi ruang untuk menentukan sendiri pemimpinnnya dalam pemilu, entah memilih calon independen atau partai politik.
Jika yang menang justru calon independen, itu artinya merupakan tanda para pemimpin partai harus mawas diri termasuk di antaranya kemungkinan hilangnya kepercayaan Rakyat terhadap partai politik sudah hilang.
Catatan lain yang diberikan Osbin yakni permintaan kepada para pemimpin partai untuk melihat beberapa contoh kasus atas gagalnya pilkada sertentak pada tahun 2015.
Tercatat di sejumlah daerah perkotaan terdapat fenomena jumlah suara sah pemilih dari daftar pemilih tetap tidak lebih dari 55 persen.
Di Kota metropolitan Medan Sumatera Utara, sebagai contoh, suara sah pemilih tidak lebih dari 25 persen dari daftar pemilih tetap.
Persepsi awal masyarakat awam berkesimpulan bahwa calon kepala daerah yang sedang bertarung tidak diminati pemilih, atau karena pemilih melihat tidak ada diantara dua calon yang bertanding itu yang memberi harapan perubahan.
Akhirnya yang terjadi adalah apatisme warga untuk memberikan suaranya.
Fakta pilkada serentak Desember 2015, sekurang kurangnya di enam kabupaten/kota yang sudah maju seperti Kota Medan Sumatera Utara, Kota Batam Kepri, Kab.
Serang Banten, Kota Waringin Timur Kalimantan Tengah, Kota Surabaya Jawa Timur, dan Kabupaten Jember Jatim, suara sah apemilih tidak melebihi angka 51 persen dari Daftar Pemilih Tetap.
Fakta ini harus dilihat oleh para pemimpin partai.
Jika fakta ini tidak dilihat, hal ini mempunyai makna, lonceng kematian demokrasi ala kepartaian sudah dibunyikan.
Sehingga menurut Osbin yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa partai harus mempersulit syarat pencalonan bagi calon independen, jika partai itupun tidak dapat menghasilkan calon yang memenuhi harapan rakyat.
Kasus narkoba yang menjerat Bupati termuda Indonesia belum lama ini merupakan sinyal bahwa kaderisasi pemimpin dan kualitas calon yang diusung partai sangat dipertanyakan.(*)