TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat pajak yang tergabung dalam Forum Pajak Berkeadilan menyebutkan saat ini Indonesia sedang dalam kondisi darurat mafia pajak.
Hal itu berdasarkan dari penyebutan sejumlah nama di Panama Papers dan mengindikasikan ada yang salah dalam sistem perpajakan Indonesia.
"Dokumen Panama Papers memberi sinyal bahwa praktik perusahaan cangkang dan perilaku orang superkaya di Indonesia untuk mengaburkan kekayaannya dan melukai rakyat miskin yang selama ini membayar pajak. Indonesia saat ini darurat mafia pajak," jelas Sekjen TII, Dadang Trisasongko di kantornya, Jakarta, Minggu (10/4/2016).
Dia menjelaskan bahwa negara Panama hanya satu dari sekian banyak negara suaka pajak yang menyediakan fasilitas bagi korporasi dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari pajak.
Hal itu yang kemudian dinilai sebagai cara orang superkaya di Indonesia yang memanfaatkan rezim kerahasiannya untuk memutar uang hasil kejahatan mereka dan terbebas dari pembayaran pajak.
Sementara itu, Koordinator Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah menyatakan bahwa Indonesia dalam 10 tahun telah kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar Rp 2.400-an triliun dengan kurs Rp 13.000 per 1 dolar AS atau setara dengan Rp 200 triliun setiap tahunnya.
"Uang ini potensi pajak kita yang menguap dari Indonesia ke negara-negara suaka pajak," jelasnya.
"Tingginya potensi korupsi pajak, praktik penggelepan pajak oleh korporasi, kelompok kaya dan super kaya ini jadi bukti bahwa mafia pajak sudah membabi buta di Indonesia," lanjutnya.
Pemerintah diharapkan segera membentuk gugus tugas untuk menyelesaikan masalah perpajakan di Indonesia. Jangan sampai target penerimaan pajak yang dinyatakan pemerintah melalui APBN 2016 tidak lagi tercapai.
Dari hal tersebut, Forum Pajak Berkeadilan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menuntaskan permasalahan yang ada.
Panama Papers diharapkan menjadi acuan presiden untuk membenahi kewibawaan negara agar para pengemplang pajak tidak lagi mendapatkan pengampunan.