TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi PDIP Damayanti Wisnu Putranti mengungkapkan sejumlah fakta yang diketahuinya soal praktik suap yang terjadi di Komisi V DPR.
Dalam kesaksiannya di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (11/4/2016), Damayanti mengungkap soal kode yang biasa dipakai pengusaha untuk memberikan jatah kepada anggota dewan hingga daftar penerimanya.
"Pada Oktober 2015 saat pertemuan di Hotel Ambhara, Pak Amran bawa data lebih komplit, ada judul, nama jalan, nominal dan kodenya. Saya kodenya 1e. PDIP itu 1, e-nya saya tidak tahu. Itu berdasar jumlah kepemilikan kursi di DPR, PDIP nomor 1, Golkar nomor 2 dan seterusnya," ujar Damayanti.
Damayanti menjadi saksi untuk terdakwa Direktur Utama PT. Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir yang didakwa memberikan uang sejumlah Rp21,28 miliar; 1,674 juta dolar Singapura dan 72.727 dolar AS kepada Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary.
Uang suap itu juga mengalir kepada Kapoksi PAN Komisi V Andi Taufan Tiro, Kapoksi PKB Komisi V Musa Zainuddin, Damayanti, dan anggota Komisi V dari fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto.
Abdul Khoir menyuap agar mendapat program dari dana aspirasi di Maluku dan Maluku Utara.
Dana aspirasi itu dimiliki anggota dewan untuk membantu pembangunan di wilayahnya.
Menurut Damayanti, dana aspirasi ini sudah dijatah oleh pimpinan fraksi lalu juga ketua kelompok fraksi.
Peruntukannya pun sudah ditentukan.
"Seperti ban berjalan siapapun anggota DPR pasti dapat," kata Damayanti.
Dia mengungkapkan, Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara sudah membawa data dana asprirasi dan peruntukan proyek hingga jatah yang didapat Komisi V.
Damayanti juga mengaku membaca daftar berisi nama-nama pimpinan dan anggota Komisi V terkait jatah proyek.
"Di situ ada Fahri Prancis (Ketua Komisi V), Michael Wattimena (Wakil Ketua Komisi V), pimpinan yang saya lihat empat, yang saya baca empat. Anggota yang saya lihat ada Pak Bakri (HM Bakri), Musa (Musa Zainuddin), saya, Budi (Budi Supriyanto), Yoseph Umar Hadi, Sukur Nababan," kata Damayanti.
Damayanti mengungkapkan dalam pertemuan ketiga itu ada proses penjatahan kepada masing-masing nama tersebut.
"Untuk nilai merupakan hasil nego antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PUPR sehingga masing-masing anggota mendapat jatah maksimal Rp 50 miliar, kapoksi maksimal Rp 100 miliar, untuk pimpinan saya kurang tahu. Kami diberikan dari kapoksi, kapoksi dari pimpinan. Saya nilainya Rp 41 miliar," ujar Damayanti.
"Pak Amran menyampaikan ke kami bahwa akan ada fee 6 persen dari nilai masing-masing yang sudah diplotkan oleh pimpinan masing-masing, itu dari rekanan. Saya dapat 245.700 dolar Singapura yang sudah diserahkan ke KPK, itu besarnya enam persen dari Rp 41 miliar," katanya lagi.
Dalam dakwaan Abdul Khoir, Damayanti disebut menerima fee dari proyek program aspirasi pelebaran jalan Tehoru-Laimu senilai Rp 41 miliar.
Di luar itu, Damayanti menerima 328.000 dolar Singapura (sekitar Rp3,28 miliar) dan 72.727 dolar AS (sekitar Rp1 miliar). Namun, uang itu dibagi-bagikan ke beberapa pihak lain.(Sabrina Asril)