TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang disebut muktamar islah, di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta, tidak berlangsung mulus.
Kubu Djan Faridz, Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta, tidak mengakui hasil Muktamar VIII yang memilih Romahurmuziy sebagai ketua umum partai itu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku sempat menghubungi Djan Faridz dan minta agar bisa menerima hasil Muktamar VIII PPP tersebut.
Menurut Jusuf Kalla, Djan Faridz merespon imbauan itu dengan meminta waktu untuk mempertimbangkan.
"Beliau lagi pikir-pikir," ujar Jusuf Kalla di acara penutupan Muktamar VIII PPP, Minggu (10/4/2016).
Dalam kesempatan itu Kalla didampingi Aksa Mahmud, penguasa nasional, kerabat, sekaligus staf ahli Wapres. Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin, seorang kader PPP, juga ikut mendapingi Kalla.
Romahurmuziy yang akrab dipanggil Romi dipilih sebagai Ketua Umum PPP secara aklamasi, Sabtu.
Sistem pemilihan itu ditolak pendukung kubu Djan Faridz yang hadir di muktamar itu. Sedang Djan Faridz tidak hadir dalam muktamar, alasannya tidak diundang oleh panitia.
Jusuf Kalla memang masih belum memastikan apakah Djan akan menerima hasil muktamar. Tetapi dia yakin nantinya kedua kubu akan bersatu.
"Memang sudah ada masalah sebelumnya tapi saya yakin bisa. (Dia) berpikir-pikir dulu katanya," tambah Jusuf Kalla.
Dalam pidato penutupannya, Kalla menyebut kondisi PPP mirip dengan partainya, Golkar.
"Jadi ini Muktamar VIII C. Ada A, B, lalu ini yang C. Mudah-mudahan tidak ada yang D," kata Kalla disambut tawa peserta muktamar.
PPP terpecah menjadi dua kubu. Kubu Romi merupakan hasil Muktamar VIII di Surabaya pada 2014. Kubu kedua, Djan Faridz merupakan hasil Muktamar VIII di Jakarta.
"Kondisinya sama kayak partai saya juga," ujar Kalla, mantan Ketua Umum Partai Golkar.
Dalam kesempatan itu Kalla berharap tidak muncul konflik dan perpecahan lagi.
"Jangan pecah-pecah lagi, karena ini kan Partai Persatuan Pembangunan, bukan partai perpecahan. Kalau pecah lagi nanti pemerintah capek juga," ujarnya.
Partai politik, menurutnya, tak semata hanya untuk menang di pilkada atau pemilu saja. Fungsi dari partai politik adalah mewujudkan perwakilan.
Romahurmuziy justru menargetkan partainya bisa masuk tiga besar dalam Pemilu 2019.
Menurut Romi target untuk masuk tiga besar bukanlah ambisius sebab partai itu pernah masuk tiga partai besar di Indonesia pada 1977 hingga 2004.
"Jadi tidak terlalu berlebihan jika kita menargetkan untuk masuk tiga besar di Pemilu 2019," kata Romi.
Minta Ponsel
Ada-ada saja cara Ketua Umum PPPP Romahurmuziy untuk menghangatkan suasana dalam acara penutupan Muktama VIII di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta, Minggu (10/4/2016).
Ia menawari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan penguasa Erwin Aksa (keponakan Jusuf Kalla) untuk menjadi anggota partai berlambang Ka'bah itu.
Romahurmuziy alias Romi menyebut ayah kandung Jusuf Kalla, akrab dipanggil Haji Kalla, merupakan seorang pendiri PPP di Sulawesi Selatan.
"Di sini ada Bapak Wapres, ayahnya adalah pendiri PPP di Sulawesi Selatan, barangkali berkenan bersedia, tidak salah kita ajak bergabung," ujar Romi.
Pengusaha Aksa Mahmud, yang juga merupakan saudara sekaligus staf Jusuf Kalla, tak luput disinggung oleh Romi. Ia mengajak Erwin Aksa, putra Aksa Mahmud yang juga merupakan seorang pengusaha, untuk menjadi bendarahara umum partainya.
"Di sini ada Pak Aksa Mahmud, pengusaha hebat di negeri ini, ada anaknya namanya Erwin Aksa, mungkin saja berminat," ujar Romi.
Selama ini Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, dan Erwin Aksa tercatat sebagai kader Partai Golkar. Romi secara bercanda menyatakan hal itu penting di akhirat nanti.
"Kalau ditanya kiblatmu mana, Ka'bah. Tidak ada pohon beringin jadi kiblat," kata Romi yang disambut oleh tawa peserta muktamar.
Bukan hanya itu saja, Romi juga menyentil perlunya bantuan ponsel berbasis android bagi pengurus PPP.
Menurut Romi, dari seluruh pengurus PPP di Indonesia, sekira 500 orang, hanya 80 yang ponselnya punya aplikasi whatsapp.
"Saya mengajak para pengurus untuk membuat grup whatsapp agar koordinasi lebih mudah. Berarti itu yang handphone-nya bukan android tidak bisa. Jumlahnya tidak banyak, Pak JK," kata Romi disambut tawa peserta muktamar.
Ia meminta bantuan itu dalam kapasitas Kalla sebagai pengusaha, bukan wakil presiden. Begitu pula Aksa Mahmud.
"Saya bilang Pak JK bukan Pak Wapres, karena Pak JK pengusaha," katanya. (rek/wah)