TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Buronan kasus Bank Century, Hartawan Aluwi akhirnya tidak berkutik usai pemerintah Singapura mencabut izin tinggal tetap pada Februari 2016.
Nasib Hartawan kian terombang-ambing di Singapura karena masa berlaku paspor Hartawan berakhir sejak 2012 silam.
"Pada akhirnya, dengan status tidak dimilikinya permanent residence, berarti dari aspek kewarganegaraan statusnya ilegal," kata Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar dalam jumpa pers di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Menurutnya, Hartawan berdomisili di Singapura sejak 2008. Hartawan mendapat vonis in absensia berupa pidana penjara 14 tahun dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Juli 2015.
Ia menambahkan, sikap pemerintah Singapura yang mencabut izin tinggal tetap muncul setelah pimpinan Polri dan kepolisian dan pemegang otoritas Singapura bertemu.
Pencabutan izin tinggal tetap ini lalu berlanjut dengan komunikasi secara intensif antara Indonesia dan Singapura.
Pemerintah Singapura lalu mendeportasi Hartawan setelah Polri dan pihak otoritas Singapura menjalin komunikasi lebih kurang satu bulan terakhir.
"Ini betul-betul kerja sama dengan Pemerintah Singapura terhadap upaya pencarian yang kita lakukan," imbuhnya.
Pemerintah Indonesia membawa kembali Hartawan Aluwi ke Indonesia, Kamis (21/4/2016) malam.
Dengan ditangkapnya Hartawan, tersisa dua buron kasus Century yang belum tertangkap dari total delapan buron. Boy menyebutkan, dua orang buron yang belum tertangkap adalah Anton Tantular dan Hendro Wiyanto.
Anton merupakan pemegang saham PT Anta Boga Delta Sekuritas Indonesia, sedangkan Hendro menjabat direktur eksekutif.
Keduanya disebut sama-sama telah mendapatkan vonis 14 tahun penjara. Namun, Boy enggan menyebutkan di negara mana keduanya berada.
"Saat ini kita kerja sama dengan Interpol masih terus melakukan penyelidikan," tutur Boy.
Hartawan merupakan mantan Presiden Komisaris Antaboga, yang diduga menggelapkan dana dalam kasus Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut ditangani Bareskrim Polri.
Kapolri Incar Buron Century
Langkah Polri memulangkan buronan kasus Century tak berhenti pada Hartawan Aluwi. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, pihaknya masih mengincar Anton Tantular dan Hendro Wiyanto.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengungkapkan, dalam proses perburuan itu, pihak kepolisian RI akan bekerja sama dengan Interpol.
Ia mengakui, gerakan tersebut tidak nampak karena Polri enggan gembar gembor soal penangkapan.
"Interpol itu datang ke tempat negara lain kan minta bantuan ke otoritas di negara itu. Tidak bisa serta merta menangkap," kata Badrodin.
Contohnya, untuk memulangkan Hartawan Aluwi, Polri bekerja sama dengan pemerintah setempat melalui jalur deportasi.
Dengan demikian, petugas dapat dengan mudah menangkap dan memulangkan Hartawan. Namun, cara tersebut belum tentu bisa diterapkan ke dua buron lainnya.
"Sangat tergantung. Kalau ada perjanjian ekstradisi, ya kita ekstradisi. Kalau tidak ada, ya melalui kerja sama," kata Badrodin.
Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso menyatakan saat ini terdapat 28 koruptor yang menjadi buronan. BIN berjanji akan terus memburu ke-28 orang tersebut.
"Saat ini masih 28 orang harus kami cari, jadi saya persilakan mereka terus bersembunyi dan saya terus akan memburunya," kata Sutiyoso, dalam konferensi pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (21/4/2016) malam.
Sutiyoso mengimbau agar mereka yang masih buron ini untuk menyerahkan diri.
BIN mengaku akan terus memburu para koruptor yang kabur dari jerat hukuman itu.
"Saya kira baik mereka yang masih di luar, alangkah baiknya dan lebih terhormat apabila mereka menyerahkan diri," ujar Sutiyoso.
Selain berhasil membawa pulang Hartawan, Pemerintah RI akhirnya menjemput buronan kasus penyalahgunaan dana talangan dari Bank Indonesia atau BLBI Samadikun Hartono di China.
Dia divonis bersalah dalam kasus penyalahgunaan dana talangan dari Bank Indonesia atau BLBI senilai sekitar Rp 2,5 triliun yang digelontorkan ke Bank Modern menyusul krisis finansial 1998.
Kerugian negara yang terjadi dalam kasus ini disebut sebesar Rp 169 miliar.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 28 Mei 2003, mantan Presiden Komisaris Bank PT Bank Modern Tbk itu dihukum empat tahun penjara. (tribunnews/gle/kps)