TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Alvian Elvis menceritakan detik-detik pembebasan dari kelompok militan Abu Sayyaf.
Mualim dua Tugboat Brahma 12 ini dibebaskan bersama 9 WNI lainnya.
Proses pembebasan, ungkap Alvian, bermula pada Minggu (1/5/2016) dini hari.
Saat milisi Abu Sayyaf secara tiba-tiba membangunkan seluruh anak buah kapal (ABK) Brahma 12.
"Kami lagi enak-enak rehat, kira-kira sebelum salat subuh. Kita dibangunin tidak tahu mau diajak ke mana lagi," kata Alvian di kantor Kementerian Luar Negeri, Jalan Pejambon, Gambir, Jakarta, Senin (2/4/2016).
Alvian yang baru terbangun dari tidurnya mengaku sempat merasa ketakutan kembali diajak pergi oleh para penyanderanya.
"Kami berdoa saja berharap yang terbaik. Ternyata hari itu adalah terakhir kami di Filipina," kata Alvian yang malam itu tak bisa tidur nyenyak.
Tiba di sebuah dermaga pinggiran Pulau Jolo Filipina, Alvin dan ABK Brahma 12 lainnya dibawa menyeberang ke pulau lain.
Sesampai ke pulau yang tidak diketahui Alvin namanya, ada sebuah mobil bak terbuka yang menjemput.
"Kami lalu naik," ujarnya.
Mobil tersebut ternyata membawa seluruh ABK Brahma 12 ke rumah Gubernur Sulu, Abdusakur Tan II.
Di sana ada rombongan yang di antaranya adalah Victor Laiskodat yang membawa seluruh warga negara Indonesia kembali ke tanah air.
Mereka baru sampai di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada hari yang sama jelang tengah malam.
Saat ditemui dalam acara serah terima dari Kementerian Luar Negeri ke pihak keluarga di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Alvian tampak senang.
Tampak istri Alvian, Yola dan anak perempuannya hadir dalam acara serah terima itu.
Sejak masuk ke Gedung Pancasila dan selesai proses serah terima, Alvian yang mengenakan kemeja putih dan celana jeans biru muda itu terlihat terus menggendong anak perempuannya.
Saat menyampaikan rasa terima kasih pada Pemerintah Indonesia, Yola sempat meneteskan air mata karena dapat berjumpa kembali dengan sang kepala keluarga.
Bersama sembilan ABK Brahma 12, Alvian disandera milisi Abu Sayyaf sejak 23 Maret 2016. Kelompok ekstrimis bersenjata itu sempat mengajukan syarat sejumlah uang tebusan untuk membebaskan ABK Brahma 12.
Namun, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengaku, pada pembebasan ABK Brahma 12 Pemerintah Indonesia tidak membayarkan tebusan.