TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Lingkar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri, menyatakan sikap menolak atas cara-cara yang ditempuh negara terhadap penyisiran buku-buku.
Peristiwa pelarangan diskusi, pemutaran film, dan pembubaran pementasan teater, yang berlanjut dengan penyisiran buku-buku kiri oleh aparat keamanan, menjadi kabar yang santer terdengar belakangan dari tanah air.
Secara masif, berpola, dan tiba-tiba, peristiwa-peristiwa tersebut juga dibarengi dengan penangkapan dan intimidasi terhadap individu dan kelompok yang menyimpan dan menggunakan atribut yang secara sepihak ditafsirkan sebagai promosi komunisme.
"Peristiwa penggeledahan dan penyitaan buku oleh aparat keamanan, yang merampas hak orang untuk mengakses pengetahuan, adalah sebentuk sikap anti-intelektual. Atas praktik demikian, kami menilai negara sebenarnya sedang melakukan perbuatan melanggar hukum dan mengabaikan hak-hak sipil yang dilindungi oleh konstitusi di Republik Indonesia," tulis Roy Thaniago, narahubung Lingkar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri dalam emailnya kepada Tribunnews.com, Minggu (15/5/2016).
Kalau ini dibiarkan, jelasnya, cara-cara tersebut bisa diartikan sebagai operasi teror negara terhadap warganya.
Situasi ini jelas berpotensi menciptakan rasa tidak aman bagi warga negara untuk berpikir dan berpendapat, yang berimbas pada praktik-praktik swa-sensor pengetahuan dan kebuntuan gagasan.
Padahal, rasa aman, terutama rasa aman mengakses pengetahuan, adalah prasyarat yang mutlak dibutuhkan bagi kemajuan suatu bangsa. Pengetahuan, adalah kunci untuk membebaskan keterjajahan, seperti yang sudah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa ini. Hanya dengan begitu, cita-cita Indonesia untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia dapat dicapai.
Mereka juga menuntut agar negara taat konstitusi dengan menjamin rasa aman warga negara dalam berpikir dan berpendapat.
Jaminan ini sudah tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28F.
"Kami juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk menjalankan kewajibannya dalam memimpin pelaksanaan tercapainya hak warga negara untuk hidup bebas dari rasa takut dan merdeka dalam mengakses pengetahuan. Presiden harus menghentikan penggunaan alat-alat negara yang represif dan tidak melalui kaidah hukum," jelasnya.