TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di hadapan sejumlah wakil partai politik, Wakil Ketua KPK La Ode Muhammad Syarif membanggakan tiga partai politik di era Orde Baru.
Partai tersebut adalah Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pujian Syarif tersebut lantaran ketiga partai tersebut memiliki sistem yang jelas dibandingkan partai-partai politik di masa sekarang.
Sistem tersebut sebut saja terkait rekrutmen dan kaderisasi partai.
"Rekrutmen partai politik yang dulu baik PDI, PPP, dan Golkar sumpah lebih baik dibanding sekarang. Kalau kita mau jujur, kalau mau jujur dengarkan kata hati, kita tutup mata, pola rekrutmen Golkar itu jelas," kata Syarif saat memberikan sambutan Workshop 'Pendanaan Partai Politik' di Auditorium KPK, Jakarta, Rabu (25/5/2016).
Syarif mencontohkan partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin itu dianggap baik dalam hal rekrutmen dan kaderisasi karena selalui dimulai dari bawah. Misalnya saja politikus Golkat itu mulai dari Angakan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
"Kalau misalnya dia ketua AMPI atau ketua KNPI udahlah pasti akan naik ke atas jadi politisi," kata Syarif.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dibanding kondisi kekinian perpolitikan Indonesia. Syarif mengatakan orang yang berlatar belakang tidak jelas dan hijau di dunia politik bisa menjadi anggota DPRD.
Syarif mencontohkan kondisi di kampung halamannya di Buton, Sulawesi Tenggara. Syarif kaget lantaran mendapati seorang kenalannya yang dulunya adalah "preman pasar" ternyata menjadi anggota DPRD.
"Saya tahu persis anak itu suka main di pasar waktu kecil. Eh anggota partai, anggota DPRD," kata dia.
Dia juga mengkritik keputusan Partai Golkar yang menerapkan iuran Rp 1 miliar dari setiap calon ketua umum pada Munas Luas Biasa yang digelar di Bali belum lama ini. Kekecewaan Syarif itu bertambah lantaran Dewan Etik Partai Golkar telah bertemu secara resmi dengan pimpinan KPK.
Dalam pertemuan tersebut, pimpinan telah menegaskan tidak boleh. Singkatnya, jadi pemimpin itu adalah menjual ide dan gagasan dan bukan menggelontorkan uang.