TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly memastikan suntik kebiri dengan zat kimiawi tidak melanggar kode etik dokter. Sebab, suntik kebiri dilakukan atas putusan hukum.
Dengan demikian, dokter yang bertugas melakukan kebiri kimiawi itu berdasarkan aturan hukum.
"Jadi saya kira kalau perintah hukum, ya mereka kan pasti tidak bisa mengelak untuk itu. Itu kan perintah hukum. Semua kita patuh hukum," kata Yasonna usai menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Kepegawaian di Jakarta Selatan, Kamis (26/5/2016).
Yasonna memahami adanya kode etik dokter yang mengatur etika dokter terhadap pasien. Di antaranya tertuang dalam pasal 7a Kode Etik Ikatan Dokter Indonesia, disebutkan dalam pasal tersebut seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Menurut Yasonna, di beberapa negara, hukuman mati juga menggunakan alat suntik dan dianggap tidak melanggar kode etik dokter. Walau demikian, ia mengakui masih ada perdebatan teknis pelaksanaan suntik kebiri.
"Nanti kan kalau sudah keputusan pengadilan, pengadilan yang menentukan. Soal teknisnya memang terjadi perdebatan," ucap Yasonna.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara, dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Hukuman kebiri dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Muncul tudingan dari masyarakat bahwa Pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) dengan menerapkan hukuman kebiri.
Deputi bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Sujatmiko, memberikan penjelasan terkait polemik yang timbul di masyarakat.
Ia mengatakan, ada beberapa hal yang harus diketahui oleh masyarakat mengenai hukuman kebiri.
"Perppu ini akan diterapkan dengan tetap memperhatikan koridor hukum termasuk penghormatan terhadap HAM baik pelaku maupun korban. Perppu ini sangat diperlukan untuk melindungi para korban yang merupakan kelompok rentan, perempuan dan anak," ujar Sujatmiko.
Sujatmiko menegaskan hukuman kebiri tidak akan diterapkan kepada pelaku yang masih anak-anak. Hukuman akan diberikan kepada pelaku yang sudah dewasa.
Ia menjelaskan, hukuman kebiri akan diberikan melalui suntikan kimia dan dibarengi dengan proses rehabilitasi.
Proses rehabilitasi tersebut untuk menjaga pelaku tidak mengalami efek negatif lain selain penurunan libido.
Suntikan kimia ini pun sifatnya tidak permanen. Menurut Sujatmiko, efek suntikan ini hanya muncul selama tiga bulan.
Oleh karena itu, suntikan kimia akan diberikan secara berkala kepada pelaku melalui pengawasan ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan.
Pengawasan bertujuan untuk memonitor pelaku, jangan sampai pelaku mengalami dampak negatif lain selain penuruan libido.
"Hukuman kebiri bukan berarti memotong alat vital pelaku. Di sinilah kami tetap memperhatikan pertimbangan hak asasi manusia. Tidak permanen dan pelaku akan terus dipantau sampai insyaf. Kebiri juga akan dibarengi dengan rehabilitasi jangan sampai suntikan kimia nanti tidak menimbulkan dampak lain selain menurunkan libidonya," kata Sujatmiko.
Sujatmiko menambahkan, hukuman suntikan nantinya akan diberikan oleh tenaga media profesional dari kementerian yang menangani.
Teknis pelaksanaan hukuman kebiri akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). PP tersebut, kata Sujatmiko, mengatur secara teknis bagaimana proses penyuntikannya dan siapa yang akan memberikan suntikan.
Selain itu, hukuman suntikan paling lama dilakukan selama 2 tahun, setelah terpidana menyelesaikan hukuman pokoknya.
Misalnya, seseorang divonis 15 tahun penjara, maka suntikan akan dilakukan setelah pelaku menjalani vonis tersebut. Kemudian, pelaku juga akan dipasangi cip agar pergerakannya mudah dipantau.
"Yang kami lakukan ini adalah sebuah cara untuk menimbulkan efek jera. Apakah ini efektif, nanti kami akan lihat ke depannya," katanya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, setiap orang bisa menyatakan pendapatnya terkait Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diterbitkan pemerintah.
"Setiap orang bisa saja bicara atau berpendapat berbagai macam, tetapi kan memerkosa atau kekerasan seks yang dilakukan itu, apalagi terhadap anak-anak, itu tidak manusiawi," ujar Luhut.
Mengenai teknis pelaksanaan hukuman, Luhut menyebut hal itu akan dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP) yang kini masih dalam pembahasan.
"Ya, makanya perlu ada koordinasi tersendiri. Perlu ada rapat tersendiri untuk memutuskan bagaimana langkah-langkah teknisnya untuk menerjemahkan keputusan yang telah dibuat oleh Presiden," kata dia.
Meski demikian, Luhut yakin bahwa PP tersebut akan segera diterbitkan oleh pemerintah.
"Saya kira kalau sudah Presiden tanda tangan pasti sesegera mungkin," kata dia. (tribunnews/fer/kps)