TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Evaluasi secara komprehensif telah dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) sejak 25 – 27 Juli 2013 terhadap UU Otonomi Khusus Papua.
Hasilnya menyimpulkan bahwa otsus belum berhasil untuk menjawab persoalan keadilan, kesejahteraan, dan rekonsiliasi di Tanah Papua.
Demikian paparan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yunus Wonda dalam audiensi dengan Badan Legislasi DPR, Jumat (27/05), di Jakarta.
Pasca disahkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus, menurut Yunus, pemerintah hanya melakukan koreksi pada saat pemerintahan SBY.
Dalam pertemuan antara Presiden SBY dengan Gubernur Papua, Ketua MRP, dan Ketua DPRP, pada April 2013 di Istana Negara, dihasilkan beberapa rekomendasi.
Ia menjelaskan bahwa Presiden SBY waktu itu menawarkan konsep “triple track strategy” untuk menyelesaikan masalah Papua.
“Pertama Negara memberikan otonomi khusus plus. Kedua, Negara perlu menyelesaikan konflik guna mewujudkan papua tanah damai. Dan ketiga, Negara melanjutkan percepatan pembangunan yang komprehensif dan intensif untuk Tanah Papua," katanya.
Namun demikian Yunus mengakui, proses untuk merealisasikan hal tersebut tidak mudah.
Oleh karena itu UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus dipandang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman dan pembangunan di Papua.
Terdapat beberapa kontradiksi antara aturan pusat dengan UU Otsus tersebut.
Satu di antaranya adalah pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dipilih oleh DPRP.
Padahal dalam undang-undang yang lain dijelaskan, gubernur dan wakilnya dipilih oleh rakyat.
Yunus berharap revisi UU Otsus Papua mendapatkan prioritas oleh DPR.
Pasalnya draft revisi UU ini sudah diserahkan kepada pemerintahan yang lalu.