TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) yang ikut tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) memiliki pandangan dan sikap berbeda di saat elemen buruh lainnya bakal berunjuk rasa menuntut tangkap Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 1 dan 2 Juni 2016.
"Soal isu aksi di KPK untuk tangkap Ahok terkait kasus Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) dan dugaan kasus korupsi reklamasi, KSBSI memiliki pandangan dan sikap yang berbeda," tegas Presiden KSBSI Mudhofir Khamid, Rabu (1/6/2016).
Menurut Mudhofir, isu yang berkembang di media tersebut menjadi kontra produktif dengan gerakan buruh lantaran di depan mata masih banyak permasalahan perburuhan yang belum selesai.
Mulai dari upah, PHK yang menimpa buruh, kepastian hubungan kerja, pengangguran, kenaikan harga dan kelangkaan sembako jelang bulan puasa, THR yang biasanya menghantui buruh jelang lebaran, kesiapan buruh Indonesia menghadapi MEA, dan masih banyak lagi persoalan perburuhan lainnya.
"Kutipan penyataan tersebut, seakan-akan mengatasnamakan buruh Indonesia, menimbulkan pertanyaan buruh di akar rumput, yaitu buruh yang mana? Buruh dari mana? Juga masyarakat ikut mencibir gerakan buruh yang dibangun bersama ini seolah-olah telah menjadi kaki tangan partai politik," kata Mudhofir.
Oleh sebab itu, lanjut Mudhofir, pihaknya pun merasa perlu menetralisir isu-isu politisasi gerakan yang mengatasnamakan buruh.
Bahwa KSBSI dan buruh anggota KSBSI, atau mungkin buruh-buruh Indonesia lainnya yang merasa tak memiliki agenda politik untuk meminta KPK menangkap Ahok baik soal RSSW atau dugaan korupsi reklamasi.
"Soal permasalahan hukum kita serahkan saja ke penegak hukum, dalam hal ini adalah KPK," terang Mudhofir.
Mudhofir memastikan pihaknya atau mungkin buruh Indonesia lainnya yang belum bersuara, tidak memiliki agenda bersama dengan elemen-elemen yang mengusung isu 'Tangkap Ahok', baik untuk rencana aksi tanggal 1 atau 2 Juni 2016 ini, atau kedepannya.
Mudhofir mengakui, gerakan buruh memang tidak akan lepas dari gerakan politik, tetapi ia mengingatkan agar tidak mempolitisasi gerakan buruh dengan isu-isu politik praktis karena gerakan buruh Indonesia adalah gerakan yang besar yang sangat mampu mempengaruhi sistem perpolitikan di Indonesia, tanpa perlu ditunggangi oleh kepentingan partai politik apapun.
"Jangan politisasi gerakan buruh dengan isu-isu politik praktis," ucapnya.
Mudhofir melanjutkan gerakan serikat buruh saat ini yang mengikuti dinamika politik Indonesia menunjukan bahwa telah terjadi kemajuan yang positif dalam sejarah gerakan buruh Indonesia pasca berakhirnya rezim orde baru.
Kendati demikian, sambung Mudhofir, demi menjaga eksistensi gerakan buruh yang telah dibangun bersama, pihaknya juga memilih pola perjuangan dengan mengkritisi pemerintah dan pengusaha, dalam memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan buruh dan keluarganya.
Melakukan advokasi struktural, di nasional dan internasional, terhadap isu-isu sosial dan sektoral dengan mengedepankan dialog sosial adalah merupakan fungsi serikat buruh saat ini.
"Kritik terhadap sistem politik pun dibangun bersama demi terciptanya Indonesia Raya yang berkeadilan sosial," bebernya.
Selain itu, tambah Mudhofir, KSBSI juga memiliki pandangan dan perjuangan yang sama terkait isu-isu ketenagakerjaan dalam GBI, bahwa faktanya PP 78/2015 tentang Pengupahan perlu direvisi terutama terkait sistem skala upah untuk menjamin keadilan bagi buruh, soal kriminalisasi 26 aktivis buruh harus segera diakhiri dengan keputusan bebas.
Bahkan, kata dia, KSBSI mendorong meningkatnya nilai manfaat yang harus didapatkan oleh buruh Indonesia, dengan cara mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro buruh, seperti program 1 juta rumah, perbaikan kualitas dan program BPJS baik Ketenagakerjaan maupun Kesehatan, mendorong penerapan dan pengawasan diskon PPh 21 serta PTKP 2016, mengkritisi kemampuan dalam menjaga kepastian harga-harga kebutuhan pokok, dan program-program kerakyatan lainnya.
Sementara itu, lanjut Mudhofir, perihal isu sosial pihaknya meminta pemerintah untuk memperhatikan korban-korban gusuran, termasuk soal reklamasi yang belakangan ini menjadi sorotan publik. Dalam hal ini, pemerintah harus menjamin proses hukum reklamasi tersebut berjalan pada koridornya.
"Demikian pula aspek sosial dampak dari kebijakan tersebut harus diperhatikan terutama soal mata pencaharian masyarakat yang menjadi korban penggusuran. KSBSI pada 1 Mei lalu mendidikasikan hari buruh dalam bentuk kegiatan sosial untuk memberikan bantuan pada masyarakat Kramat luar batang, Jakarta Utara," tandasnya.