TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesakan RUU terhadap perubahan kedua no 1 tahun 2015 tentang Pilkada menjadi UU. Pengesahan itu dilakukan setelah peserta rapat paripurna menyetujui RUU yang dibacakan Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman.
Meskipun, sejumlah fraksi memberikan catatan terkait RUU tersebut. Rambe menyatakan rapat kerja awal dilakukan pada tanggal 15 April 2016, dengan agenda Pengesahan Mekanisme dan Jadwal Pembahasan RUU Pilkada.
"Terhadap beberapa materi yang menjadi fokus pembahasan RUU ini dilakukan dalam bentuk pengelompokan substansi sebagai bentuk penyederhanaan model pembahasan," kata Rambe dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Rambe mengungkapkan penetapan mengenai waktu pemungutan suara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota pada tahun 2020, 2022, 2023, dan 2024.
"Pasangan calon atau calon yang meninggal menjelang hari H pemungutan suara tetap terhitung sebagai pasangan calon," kata Politikus Golkar itu.
Kemudian, peningkatan kualitas verifikasi pasangan calon perseorangan; Pengaturan lebih lengkap mengenai tindak pidana karena menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih dan/atau penyelenggara Pemilihan; Penguatan kewenangan Bawaslu.
Pembahasan lainnya mengenai perbaikan penormaan terkait kampanye, metode kampanye, dan dana kampanye; Perbaikan norma terkait penyalahgunaan jabatan sebagai petahana; Pemerintahan Daerah wajib bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah, khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.
Rambe mengatakan DPR bersama pemerintah dan DPD juga membahas perbaikan pengaturan terkait penanganan pelanggaran Pilkada pidana, administrasi, sengketa tata usaha negara, perselisihan hasil; Mengatur lebih lanjut tentang proses penanganan dan sanksi terkait pelanggaran pemilihan politik uang; Melengkapi pengaturan terkait pelantikan pilkada serentak, dimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat melantik.
Adapula mengenai, perbaikan pengaturan terkait pengusulan pengangkatan pasangan calon terpilih; Mengenai syarat dukungan pasangan calon dari partai politik/ gabungan partai politik dan syarat dukungan untuk pasangan calon perseorangan; Pengaturan bilamana terjadi perselisihan kepengurusan partai politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon dalam pemilihan.
"Pengaturan tentang cuti bagi petahana yang mencalonkan diri dalam Pilkada, dan izin bagi pejabat Negara yang terlibat dalam kampanye pemilihan pasangan calon yang diusung; dan
Penggunaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik sebagai syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih," jelas Rambe.
Rambe menuturkan pembahasan syarat pencalonan dalam Pilkada terkait putusan Mahkamah Konstitusi juga dibahas. Mulai dari pengunduran diri bagi PNS, Anggota DPR, Anggota DPD, dan Anggota DPRD sejak ditetapkan sebagai calon.
Persyaratan terkait mantan narapidana untuk mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi narapidana. Dihapusnya persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Pengaturan terkait pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika hanya terdapat satu pasangan.
"Sebagaimana pengelompokan substansi di atas, dapat dijelaskan kondisi dan hasil yang dicapai dalam pembicaraan di tingkat Panitia Kerja," imbuh Rambe.
Rambe menjelaskan Komisi II dan Pemerintah menyepakati bahwa pemungutan suara lanjutan hasil Pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada Bulan Desember tahun 2020. Hasil Pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022. Hasil Pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023. "Hal ini dilakukan sampai mencapai keserentakan nasional pada tahun 2024," katanya.
Terkait, meninggalnya pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon dibuat norma tata cara pengajuan calon pengganti baik untuk pasangan calon perseorangan maupun pasangan calon dari partai politik.