Ini bukan sekadar perkara masuk ke SMA impian, tapi lebih ke sebuah penolakan dan kandasnya sebuah cita-cita.
Medio 1977 itu diakui Sujiatmi merupakan masa-masa yang berat baginya. Jokowi akhirnya mau masuk sekolah di SMAN 6, tapi ia lebih sering bolos dan mengunci diri di kamar. Bahkan Jokowi sampai sakit tipus segala.
Sujiatmi pun pasrah. Dia hanya bisa menasihati Jokowi agar jangan patah semangat.
Meski bersekolah di SMA yang tidak favorit, bukan berarti ia tidak akan bisa kuliah di universitas favorit kelak. Tentu saja, dengan syarat mesti rajin belajar.
Syukurlah, kala Jokowi menginjak kelas 2 dia dapat mengatasi kesedihannya. Dia mulai rajin belajar. Prestasi sebagai juara kelas mulai sering diraih.
Ada satu tekad Jokowi kala itu, yakni harus mampu menembus universitas favoritnya, Universitas Gadjah Mada (UGM), Fakultas Kehutanan Jurusan Teknologi Kayu.
Bukannya apa-apa, tumbuh dan berkembang di lingkungan usaha kayu dan bambu membuatnya jatuh cinta pada dunia perkayuan. Tak ingin melihat anak kesayangannya “jatuh”lagi, maka Sujiatmi menyuruh Jokowi mengikuti bimbingan belajar selama sebulan sebelum tes masuk ke UGM.
Hasilnya, Jokowi diterima. Dia menyelesaikan kuliah dalam waktu 4,5 tahun; salah satu mahasiswa yang lulus tercepat di Jurusan Teknologi Kayu Fakultas Kehutanan UGM.
Itulah saat Jokowi muda patah hati. Bukan, bukan karena perempuan, tapi karena tidak masuk sekolah favorit yang dicita-citakan.
Memoar "Jokowi Memimpin Kota Menyentuh Jakarta."
(Yoyok Prima/Intisari)