TRIBUNNEWS.COM, MATARAM - Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengungkapkan keprihatinannya atas maraknya peredaran obat dan vaksin palsu di masyarakat.
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad, mendesak pemerintah agar memperketat mata rantai distribusi obat dan vaksin dengan segera mengaudit sistem distribusi yang dapat memunculkan pengawasan melekat dari produsen sampai ke konsumen.
“Tersangka pembuat vaksin palsu yang ditangkap di DKI Jakarta, Banten dan Tangerang Selatan pada 21 Juni lalu mengaku bahwa operasinya telah berlangsung semenjak 2003. Hal ini jelas menunjukkan lemahnya pengawasan oleh pemerintah selama ini,” ujar Farouk di sela-sela Safari Ramadhan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (28/6/2016).
“Bagaimana mungkin peredaran vaksin palsu selama satu dekade lebih tidak terdeteksi oleh lembaga-lembaga pengawas? Padahal, mata rantai distribusinya tertutup,” kata guru besar kriminologi tersebut.
Farouk secara lebih lanjut menjelaskan bahwa rangkaian penyelenggaraan imunisasi, mulai dari pengadaan vaksin sampai distribusi, telah menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.43/2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi dan KMK No.1015/Menkes/SK/VI/2005 tentang Pedoman Umum Pengadaan Vaksin Program Imunisasi.
Peraturan yang ketat dalam distribusi vaksin untuk program imunisasi bahkan telah mengatur skema rantai yang tertutup hanya dengan dua perusahaan farmasi yang diperbolehkan untuk memproduksi vaksin.
Senator asal NTB tersebut menyarankan agar peredaran obat dan vaksin dapat diawasi seketat peredaran mata uang.
“Nomor tunggal batch dan barcode seharusnya dapat digunakan untuk pemeriksaan silang data daring (online) secara nasional. Dengan demikian, Puskesmas, Rumah Sakit, dokter dan bahkan masyarakat sendiri dapat langsung memeriksa asal dan rantai distribusi vaksin atau obat yang mereka terima,” sarannya.
Farouk Muhammad berharap bahwa melalui sistem pengawasan terpadu seperti itu, para tenaga kesehatan akan langsung membuang vaksin atau obat yang tidak terdistribusi secara resmi, tergandakan, atau tidak tercatat nomornya.
“Saya mengapresiasi langkah Bareskrim Polri yang telah berinisiatif untuk membongkar skandal vaksin palsu. Namun demikian, harus tetap ada sistem pemeriksaan distribusi yang reguler, proaktif dan tidak kasuistik,” tegas Farouk Muhammad yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Percepatan Pembangunan Daerah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tersebut.
Audit sistem distribusi obat menjadi mendesak mengingat temuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menunjukkan adanya peningkatan peredaran obat palsu dan obat tanpa ijin semenjak 2012, tegasnya.
Seperti banyak diberitakan media massa, Direktorat Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah berhasil membongkar jaringan pemalsu vaksin pada 21 Juni 2016 dan menetapkan 15 orang tersangka yang berperan sebagai produsen, kurir, distributor, dan pencetak label. Vaksin yang dipalsukan adalah vaksin dasar yang wajib diberikan untuk bayi, yakni campak, polio, hepatitis B, tetanus, dan BCG (Bacille Calmette-Guerin). Para pelaku membuat vaksin palsu secara manual dengan mengisi ampul dengan cairan buatan sendiri yang menyerupai vaksin aslinya.