TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kematian Santoso adalah hadiah TNI bagi Kepala Polri (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian.
Karena itu tewasnya pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan gembong teroris paling dicari di Indonesia itu, menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, tidak bisa serta merta diklaim sebagai awal kesuksesan Tito.
Sebab kata Neta, faktanya adalah Santoso tewas dalam operasi yang dilakukan TNI.
Kontak senjata yang terjadi di koordinat UTM 2027-6511, itu antara Santoso dan satuan tugas batalyon Raider 515 Kostrad (yang tergabung dalam Satgas Tinombala).
"Tewasnya Santoso tidak bisa diklaim sebagai awal kesuksesan Tito sebagai kapolri," ujar Neta kepada Tribunnews.com, Selasa (19/7/2016).
"Tapi kalau disebutkan TNI memberi hadiah bagi Tito sebagai Kapolri baru, itu bisa dipahami," jelasnya.
Dengan tewasnya Santoso, apakah aksi terorisme di Indonesia akan berakhir?
Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, jawabannya pasti tidak.
Malah kata Neta, yang dikhawatirkan justru adanya serangan balasan dari antek-antek dan jaringan Santoso.
"Di Poso sendiri, Santoso sudah membangun kader. Salah satu kadernya adalah Ali Kolara yang berpotensi menggantikan posisi santoso," ujarnya kepada Tribunnews.com, Selasa (19/7/2016).
Kelompok Santoso sendiri, imbuhnya, adalah satu dari 9 kelompok radikal yang masih tumbuh subur di Indonesia yang sangat berpotensi melahirkan para teroris.
Walau Santoso sudah tewas pengejaran polri terhadap teroris di Indnesia belum akan berhenti. Sebab kelompok Solo masih terlihat sangat agresif.
"Setidaknya ini terlihat dalam aksi bom bunuh diri di Polresta Solo akhir Ramadhan lalu," katanya.
Potensi teroris ini makin mengkhawatirkan tatkala beredar kabar masuknya dana setara Rp 20 miliar dari Suriah ke Jogjakarta yang diduga untuk kelompok teroris.
"Artinya Kapolri baru Jenderal Tito Karnavian masih harus melakukan kerja keras untuk menekan aksi-aksi terorisme di Indonesia," katanya.