TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung telah meningkatkan status dugaan korupsi dalam pembelian lahan di Cengkareng Barat ke tahap penyidikan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyebutkan pihaknya telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Spirindik) umum pada 29 Juni silam.
"Betul kami sudah menyidik sejak 29 Juni dengan Sprindik umum," kata Arminsyah di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (19/7/2016).
Dalam perkembangannya, Jampidsus menjelaskan jaksa penyidik telah memeriksa 11 orang saksi terkait perkara pembelian ganda ini.
Di antaranya adalah mantan Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta Sukmana, Kepala Badan Pertanahan Negara Jakarta Barat Sumanto, dan mantan Sekretaris Kelurahan Meruya Jufrianto Amin.
Terkait dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus ini, Arminsyah menyebut jumlah yang sama dengan harga pembelian terakhir.
"Rp 670 miliar uang terbuang. Kami concern kepada uang Pemda keluar beli tanah yang sebenarnya tanah tidak ada," katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli lahan untuk kemudian dibangun rumah susun seluas 4,7 hektare di Cengkareng Barat.
Oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lahan itu terindikasi adanya korupsi Rp670 miliar karena Pemprov DKI membeli lahan miliknya sendiri.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja purnama menengarai adanya mafia tanah. Potensi penyimpangan pembelian lahan karena kesalahan dua SKPD DKI Jakarta, yakni Dinas Kelautan Perikanan dan Ketahanan Pangan (KPKP), serta Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta.
Lahan di Cengkareng Barat itu awalnya atas nama Dinas Kelautan Perikanan dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta.
Hanya, lahan itu telantar. Kemudian pada 2013, sertifikat kepemilikan lahan tersebut terbit atas nama orang lain yaitu Toeti Noeziar Soekarno.
BPK menilai ada indikasi kerugian negara dalam proses pembelian lahan tersebut oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI.
Di lain pihak, Kepala BPN Jakbar Sumanto menilai, proses pembuatan sertifikat lahan atas nama Toeti sudah sesuai prosedur.