Ruang demokrasi juga sedang mencuatkan posisi dan peran politik yang lebih besar kepada unsur minoritas. Sebut saja isu pilkada DKI. "Kontestasi pilpres yang lalu pun sebenarnyaa tak lepas juga dari nuansa isu SARA," kata Mahfudz.
Menurut Mahfudz, harus diakui Indonesia menyimpan riwayat konflik SARA yang panjang dan tetap menjadi bahaya laten.
Faktor kesenjangan sosial-ekonomi tetap menjadi pemicu paling mendasar.
Hal lainnya, Mahfudz mengungkapkang munculnya gejala arogansi dan kontroversi kebijakan yang dipersepsi oleh unsur mayoritas sebagai upaya untuk memenangkan agenda unsur minoritas.
"Sebut saja kontroversi penghilangan kolom agama di KTP, penghapusan perda "syariah", sejumlah kebijakan pemprov DKI yang dianggap merugikan kepentingan umat Islam plus sikap-sikap sang gubernur yang dinilai arogan," katanya.
Terakhir, Mahfudz menuturkan faktor skala global dan domestik ini bisa bercampur-aduk sedemikian rupa.
Hal ini berjalan di atas realitas Keberagaman masyarakat Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi yang menguat akibat problem ekonomi yang makin berat, riwayat panjang konflik bernuansa SARA, dan munculnya model kepemimpinan dan kebijakan yang dipersepsi sebagai pertarungan minoritas versus mayoritas.