News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sosok Imanuel Nuhan, Sang Penerjun Payung Pertama Indonesia

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rombongan Wing II Pasukan Khas (Paskhas) bersama penerjun pertama Paskhas Imanuel Nuhan tiba di Lanud Iskandar, Pangkalan Bun, Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah, Selasa (23/8/2016).

TRIBUNNEWS.COM, PALANGKARAYA - Sesosok orang tua dibopong oleh Komandan Wing II Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU di Bandar Udara Tcilik Riwut Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Badannya kurus, rambut memutih, dan wajah keriput menunjukkan usianya yang sudah sangat tua.

Dialah Imanuel Nuhan (93) salah satu pelaku sejarah di Indonesia. Mungkin tak banyak lagi yang mengenal sosoknya, namun siapa yang mengira bahwa ia adalah salah satu dari 13 orang penerjun payung pertama di tanah air.

Imanuel bersama 12 rekannya tercatat sebagai penerjun pertama Indonesia, yang sukses melakulan aksinya pada tanggal 17 Oktober 1947 silam, di Desa Sambi, Kevamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Imanuel saat ini menjadi satu-satunya dari 13 orang tersebut yang masih hidup. Sementara rekannya yang lain yaitu Hari Hadi Sumantri, FM Soejoto, Iskandar, Ahmad Kosasih, Bachri, J Bitak, C Williem, Amirudin, Ali Akbar, M Dahlan, JH Darius, dan Marawi telah meninggal.

Para prajurit terjun dari pesawat C-47 Dakota RI-002 yang dipiloti oleh Bob Freeberg berkebangsaan Amerika, dan kopilot Opsir Udara III Suhodo, serg Jump Master Opsir Muda Udara III Amir Hamzah.

Pejuang tersebut adalah Hari Hadi Sumantri, FM Soejoto, Iskandar, Ahmad Kosasih, Bachri, J Bitak, C Williem, Imanuel, Amirudin, Ali Akbar, M Dahlan, JH Darius, dan Marawi.

Peristiwa heroik tersebut merupakan operasi penerjunan pertama sekaligus operasi lintas udara pertama yang dilakukan oleh TNIserta menandai lahirnya Satuan Tempur Darat Matra Udara yang dimiliki TNI AU saat ini.

Saat terjun, ke-13 prajurit tersebut belum pernah melakukan penerjunan sebelumnya kecuali teori dan ground training.

Hernison Inuhan, putra Imanuel Nuhan yang selalu mendampinginya menceritakan bagaimana sang ayah dapat tercatat dalam sejarah sebagai penerjun pertama Indonesia.

"Dulu bapak sekolah di Sekolah Rakyat, lalu ada kawan bapak yang bawa beliau sekolah pelayaran di Jawa. Bapak kemudian berangkat dari Desa Tewa ke Pulau Jawa. Setelah lulus, ia kemudian menjadi tentara Jepang," kata Hernison saat mendampingi ayahnya berkunjung ke Desa Sambi, Selasa (23/8/2016).

Saat Jepang kalah dari sekutu, Imanuel kemudian bergabung ke Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Saat bergabung di TRI itu, ia sempat berperang di Surabaya dan sekitarnya.

Beberapa waktu kemudian, Gubernur Kalimantan saat itu, Muhammad Noor mengajukan permintaan kepada Kasau yang saat itu dijabat Marsekal S Soeryadarma untuk mengirimkan pasukan payung guna membantu menyusun gerilya dan perjuangan rakyat di Kalimantan.

Selain itu juga untuk membuka jaring komunikasi stasiun radio antara Kalimantan dan Pemerintahan RI yang ada di Yogyakarta serta mengusahakan dan menyempurnakan daerah penerjunan untuk penerjunan lanjutan.

Permintaan ini disambut baik oleh AURI dengan membentuk Tim yang terdiri dari 13 prajurit pejuang dan menunjuk Mayor Udara Tjilik Riwoet sebagai putra daerah Kalimantan untuk menyiapkan prajurit dalam misi tersebut.

Tepat pada pukul 07.00 WIB, tanggal 17 Oktober 1947, pesawat C-47 Dakota RI-002 yang dipiloti oleh Bob Freeberg berkebangsaan Amerika, dan kopilot Opsir Udara III Suhodo, serta jump master Opsir Muda Udara III Amir Hamzah menerjunkan 13 prajurit di daerah Sambi Kotawaringin Barat.

"Pada saat penerjunan itu, semua anggota selamat, namun saat istirahat di pondok tak jauh dari lokasi pendaratan, mereka dikepung pasukan Belanda dan terjadi kontak senjata hingga menyebabkan tiga orang pejuang tewas," lanjut Hernison.

Saat pengepungan oleh pasukan Belanda itu, beberapa orang sempat meloloskan diri termasuk Imanuel. Namun pada akhirnya semuanya tertangkap.  Imanuel menjadi orang terakhir yang tertangkap.

Mereka yang tertangkap kemudian dipenjarakan Belanda di Nusakambangan. Namun setelah melalui berbagai perundingan, seluruh tahanan akhirnya dibebaskan.

"Setelah bebas, bapak ditugaskan di beberapa tempat termasuk pernah di kebun binatang Wonokromo. Setelah pak Tcilik jadi gubernur, ia ditarik jadi kabiro humas sampai akhirnya pensiun pada tahun 1980," ungkapnya.

Imanuel kini menghabiskan masa tuanya di Kota Palngkaraya bersama anak-anaknya. Imanuel memiliki 11 anak dari dua istri. Istri pertama yang telah meninggal dikaruniai 8 orang anak, sementara istri kedua memiliki tiga anak.

Di masa tuanya itu, Imanuel terkadang meminta kepada anak-anaknya agar dibawa ke Desa Sambi, tempatnya mendarat dulu. Ia ingin menemui warga desa.

"Beliau selalu ingin ke Sambi tapi kami anak-anaknya tak mengizinkan karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan. Bapak ingin agar masyarakat Kalteng tahu bahwa pejuang yang pernah mendarat di Sambi masih hidup," tutur Hernison.

Imanuel juga selalu berharap agar pemerintah bisa lebih memperhatikan sejarah yang melekat di kota Sambi. "Pemerintah harus melestarikan dan mengembangkan Desa Sambi, karena jika desa berkembang, sejarah juga akan terus dikenang," tutup dia.

Penerjunan 13 pasukan tersebut kemudian dikukuhkan 20 tahun kemudian, dengan keputusan Men/Pangau nomor 54 tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967 bahwa tanggal 17 Oktober 1947 sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang sekarang dikenal dengan nama Korps Pasukan Khas Angkatan Udara (Korpaskhasau).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini