TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keselamatan warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf semakin terancam. Pasalnya, aparat Filipina sedang menggempur kelompok tersebut.
"(Ancaman keselamatan) semakin tinggi. Karena kita hanya sebagai penerima kabar saja. Kita enggak terlibat. Filipina enggak ajak kita," kata Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Ia mengatakan operasi militer dapat dilakukan bila para sandera telah bebas. Kecuali, Pemerintah Indonesia menoleransi risiko sandera meninggal. Sebab, operasi militer efektif melumpuhkan kelompok bersenjata tetapi di sisi lain risiko ancaman nyawa sandera juga tinggi.
"Membuat kebijakannya tidak bisa serampangan bahkan kalau operasi militer sebelum sandera bebas, enggak bisa begitu karena menjadi risiko," katanya.
Politikus PAN itu mengatakan Filipina sebagai negara tetangga dan memiliki kedekatan dengan Indonesia dapat memperhatikan keselamatan WNI. Apalagi, Indonesia diketahui memberikan beasiswa pendidikan kepada 30 anak kelompok Abu Sayyaf.
"Searusnya direken agar sandera bebas dulu baru bisa dilakukan joint militer atau sendirian habisi Abu Sayyaf," kata Hanafi.
Sebelumnya diberitakan, dua WNI yang disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf berhasil melarikan diri. Dua WNI tersebut yakni Ismail dan Mohamad Sofyan.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso menuturkan aparat keamanan Filipina masih menggempur kelompok Abu Sayyaf.
"Itu menyebabkan mereka pindah sana pindah sini, makanya ada kesempatan yang dianggap bagus, dua orang itu memanfaatkan kesempatan itu," kata Sutiyoso di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (23/8/2016).
Diketahui, Mohamad Sofyan yang merupakan awak Tug Boat Charles berhasil melarikan diri pada Rabu 17 Agustus 2016. Sedangkan Ismail berhasil melarikan diri pada 18 Agustus lalu.