News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mantan Petinggi MA Andri Tristianto Hadapi Vonis Hakim Tipikor

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Kasubdit Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna mengikuti sidang pembacaan pembelaan atau pledoi terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (11/8/2016). Dalam pledoinya, terdakwa yang dituntut oleh JPU KPK dengan 13 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara atas kasus tindak pidana dugaan menerima suap untuk penundaan pengiriman salinan putusan kasasi perkara korupsi di MA tersebut mengakui dan menyesal atas perbuatannya. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, akan membacakan vonis mantan Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata Dan Tata Laksana Perkara Perdata Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna, Kamis (25/8/2016).

Oleh Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK), Andri dituntut 13 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidier enam bulan kurungan.

"Sudah saya pasrah saja, pasrah," kata Andri di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016) lalu.

Andri dinilai terbukti secara sah melakukan korupsi sesuai dalam dakwaan pertama pasal 12 huruf a dan menerima gratifikasi sesuai dakwaan kedua pasal 12 huruf b dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.

"Menjatuhkan pidana pada Andri dengan tuntutan 13 tahun dikurangi masa tahanan dan denda Rp 500 juta subsidier enam bulan kurungan," kata Jaksa Ahmad Burhanudin.

Tuntutan 13 tahun dianggap sebanding karena Andri mengurus banyak perkara di peradilan.

Dalam pertimbangannya, jaksa menilai hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Sementara hal yang meringankan adalah terdakwa berbuat sopan selama persidangan dan mengakui perbuatannya.

Jaksa juga menilai, dalam dakwaan pertama Andri terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta untuk menunda salinan putusan perkara yang melibatkan pengusaha Ichsan Suaidi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sementara dalam dakwaan kedua, Andri terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 500 juta dari seorang pengacara di Pekanbaru, Riau.

Dalam tuntutannya, JPU juga menyebutkan adanya fakta jumlah pendapatan Andri yang tidak berbanding lurus dengan jumlah kekayaannya.

"Andri juga mengakui pembelian rumah, mobil, dan harta lainnya diperoleh dari hasil jual beli perkara," kata jaksa Ahmad.

Padahal sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Andri dilarang menerima hadiah atau pemberian apa saja dari siapa pun yang berhubungan dengan jabatannya. Andri juga dilarang menggunakan wewenangnya untuk memperkaya diri.

Jaksa menilai, Andri terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari Ichsan Suaidi melalui pengacaranya, Awang Lazuardi Embat.

Uang tersebut diberikan Awang agar Andri mengusahakan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi atas nama Ichsan Suaidi, dalam perkara korupsi proyek pembangunan Pelabuhan Labuhan Haji di Lombok Timur.

Andri juga didakwa menerima gratifikasi, yakni menerima uang sebesar Rp 500 juta yang berhubungan dengan abatannya.

Gratifikasi tersebut diterima dari salah seorang pengacara, Asep Ruhiyat. Selain menerima uang dari Asep Ruhiat, Terdakwa juga menerima uang dari pihak-pihak lain terkait penanganan perkara pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini