TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) berharap ada evaluasi dalam melahirkan advokat di Indonesia.
Amanat pasal 17 Undang-undang Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengarahkan agar dunia kampus harus terlibat dalam melahirkan profesi advokat perlu segera diaplikasikan.
Ketua Umum AAI, Muhammad Ismak mengatakan, keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung (KMA) RI Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tertanggal 25 September 2015 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XIII tertanggal 29 September dinilai bisa memunculkan masalah.
Ismak menjelaskan, KMA ini memberikan ruang pada semua organisasi advokat untuk mengusulkan pengambilan sumpah profesi advokat ke Pengadilan Tinggi.
Dengan kesempatan yang begitu besar pada semua organisasi advokat, maka, sangat mungkin hal ini memunculkan advokat yang lahir secara instan.
Untuk itu perlu upaya untuk mengelola profesi ini agar tetap melahirkan advokat yang memiliki integritas dan kapasitas yang mumpuni. Salah satu caraya adalah dengan mengikuti apa yang menjadi ketentuan dalam UU Pendidikan Tinggi.
Pendidikan advokat kata Ismak, harus bekerjasama dengan perguruan tinggi. Apalagi, pada pasal 17 ayat (1) UU Dikti tersebut secara tegas disebutkan, pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.
Selanjutnya, pada ayat (2) dijelaskan bahwa pendidikan profesi sebagaimana disebutkan pada ayat (1) dapat diselenggarakan perguruan tinggi dan bekerjasama dengan kementerian, LPNK, dan atau organisasi profesi yang bertanggungjawab atas mutu layanan profesi.
Atas dasar ini, untuk menyelamatkan dan menghindari lahirnya advokat secara instan, maka harus dilakukan sesuai UU Dikti. Pasalnya, dalam UU ini disebutkan, pendidikan untuk profesi maksimal tiga tahun dengan menyelesaikan minimal 24 SKS.
"Jadi yang saya lihat, jika mengacu pada UU Dikti dan kemudian disetarakan dengan level di perguruan tinggi, maka Strata Satu (S1) itu level 6, pendidikan profesi level 7, magister level 8, dan doktor level 9," kata Ismak di sela-sela workshop profesi advokat di Hotel Bidakara, Rabu (21/9/2016).
Lebih lanjut, Ismak mengatakan, profesi advokat perlu melihat apa yang diterapkan untuk profesi kedokteran. Setelah menyelesaikan jenjang strata satu, maka dilanjutkan dengan pendidikan profesi oleh perguruan tinggi.
"Nantilah setelah itu, baru bisa dikatakan dokter," ujarnya.
AAI sendiri sedang mengupayakan untuk melaksanakan metode melahirkan advokat berintegritas dan berkapasitas dengan mengajak perguruan tinggi membuka pendidikan profesi advokat.