TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Universitas Udayana Made Meregawa terkait kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Tahun Anggaran 2009 - 2011.
Made diperiksa KPK sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
"Diperiksa sebagai tersangka," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Jakarta, Selasa (27/9/2016).
Made yang sudah berstatus terpidana itu tidak berkomentar terkait pemeriksannya.
Dia tiba di KPK dan langsung masuk ke dalam menuju pemeriksaan.
Usai diperiksa sekitar tujuh jam, Made juga langsung masuk menuju mobil tahanan tanpa berkomentar kepada wartawan.
Pada kasus tersebut, KPK menetapkan dua tersangka yakni Made dan Direktur Utama PT Duta Graha Indah Dudung Purwadi. Keduanya diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009 - 2011 dengan nilai proyek sekitar 120 miliar rupiah.
Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian sekitar 30 miliar rupiah.
Atas perbuatannya, keduanya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sebelumnya pada 2014 KPK juga telah menetapkan Made Meregawa bersama Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang sebagai tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit (RS) Khusus Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana pada Tahun Anggaran 2009.
Tersangka MDM diduga melakukan permufakatan dan rekayasa dalam proses pengadaan yang mengakibatkan negara diduga mengalami kerugian sekurangnya 7 miliar rupiah dari nilai proyek sekitar Rp 18 miliar.