"Pimpinan tidak mau melanjutkan rapat dengar pendapat dengan Kementerian (PUPR)," kata Damayanti diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016.
Karena itu, kata Damayanti, terjadilah kesepakatan antara pimpinan Komisi V DPR dan pejabat Kementerian PUPR.
Rapat itu dihadiri oleh Ketua Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra, Fary Djemi Francis, Wakil Ketua Komisi V DPR Fraksi Demokrat, Michael Wattimena, Wakil Ketua dari Fraksi PDIP, Lasarus, Wakil Ketua Fraksi PKS, Yudi Widiana dan Wakil Ketua Fraksi Golkar, Muhidin Mohamad Said.
Sementara Kapoksinya dari Fraksi Gerindra, Muhammad Nizar Zahro, dari Fraksi PPP, Epriadi Asda, Fraksi Hanura, Fauzi H Amro, dari Fraksi PKB, Muza Zainuddin, dari Fraksi PAN, Andi Taufan Tiro dan dari PDIP Yoseph Umar Hadi, serta pejabat eselon I Kementerian PUPR, yang salah satunya yakni Sekjen Kemenpupera Taufik Widjojono.
Damayanti menjelaskan, awalnya pimpinan dan Kapoksi meminta kompensasi fee Rp 10 triliun. Hal itu dikarenakan Kemen PUPR mendapatkan anggaran Rp 100 triliun.
Tapi Kemen PUPR tidak menyetujui angka Rp 10 triliun itu, sehingga diturunkan menjadi Rp 7 triliun, kemudian turun lagi menyentuh Rp 5 triliun.
Hingga akhirnya disepakati Rp 2,5 triliun di pos Ditjen Bina Marga Kemen PUPR.
Dalam pertemuan tertutup tersebut, kata Damayanti juga ditentukan fee atau kompensasi yang akan didapat setiap anggota Komisi V.
Selain itu, disepakati bahwa setiap anggota memiliki jatah aspirasi Rp 50 miliar, Kapoksi memiliki jatah Rp100 miliar, sementara pimpinan Komisi V mendapat jatah hingga Rp 450 miliar.
Damayanti mengatakan, setiap anggota Komisi V mendapat jatah proyek, nilainya ditentukan pimpinan komisi dan Kapoksi.