TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan berbagai kekeliruan dalam pemahaman dan eksekusi pembuatan pulau buatan atau reklamasi di pesisir pantai.
Menurut Susi, masyarakat kadang tidak bisa membedakan izin lokasi dengan izin pelaksanaan.
"Contoh tentang Benoa (Bali) begitu sampai izin lokasi kita keluarkan mereka menganggap pelaksanan reklamasi sudah terjadi," kata Susi saat menjadi pembicara diskusi di gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/10/2016).
Padahal, kata Susi, izin lokasi adalah izin yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk setiap orang atau badan usaha atau Pemerintah untuk melakukan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Menurut Susi, jika Amdal tidak ada maka reklamasi tidak bisa dilaksanakan.
Amdal tersebut merupakan pijakan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Nah di Amdal ini lah go and no go-nya (pelaksanaan) proyek reklamasi. Termasuk di situ sosialnya juga akan dibuat analisis dampak lingkungan oleh menteri KLHK," kata Susi.
Kajian sosial tersebut adalah apakah ada penolakan dari masyarakat untuk pembangunan pulau buatan.
Jika masyarakat menolak, masyarakat masih bisa menggunakan gugatan class action.
Menurut Susi, Indonesia memiliki 37 titik reklamasi.
Dimana 17 titik sudah dan sedang reklamasi sementara 20 lokasi akan melakukan reklamasi.
Khusus untuk reklamasi Benoa memang mendapat tentangan yang sangat keras dari masyarakat.
Lebih dari 10.000 orang yang tergabung dalam ForBALI atau Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa menggelar aksi unjuk rasa di DPRD Bali, Kamis (25/8/2016), untuk menolak reklamasi.
Selain masyarakat biasa Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta dan grup musik beken asal Bali Superman is Dead juga menolak reklemasi.
Reklamasi di Benoa meliputi wilayah Badung dan Kota Denpasar. Reklamasi Benoa dilakukan karena Soesilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 tahun 2014 yang mencabut status konservasi Teluk Benoa.