TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, I Wayan Karya menolak permohonan praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut hakim, seluruh dalil dalam permohonan yang diajukan Nur Alam melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail tidak dapat diterima.
"Menolak seluruhnya pokok permohonan dari pemohon," kata I Wayan Karya di Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (12/10/2016).
I Wayan Karya menilai penetapan tersangka sudah sesuai peraturan yang berlaku.
Dua alat bukti permulaan yang dimiliki KPK untuk meningkatkan status Nur Alam dianggap hakim sudah terpenuhi.
Sedangkan belum diperiksanya Nur Alam sebelum ditetapkan sebagai tersangka, tidak membuat tindakan KPK dipandang menyalahi prosedur.
Pasalnya, KPK telah beberapa kali memanggil politisi Partai Amanat Nasional tersebut.
"Meski pemohon menjawab panggilan termohon dengan surat, tapi tidak ada waktu kapan pemohon bisa hadir," katanya.
Terkait belum adanya jumlah kerugian negara yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam perkara ini, disebut hakim bukan kewenangan praperadilan.
"Hal tersebut adalah kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menguji," katanya.
Dengan ditolaknya permohonan Nur Alam, berarti status tersangka masih melekat padanya.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Nur Alam sebagai tersangka pada 23 Agustus silam, atas penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) 2008-2012.
Nur Alam memberikan IUP tersebut kepada PT Anugrah Harisma Barakah seluas 3.024 hektare di dua kabupaten yakni di Kecamatan Talaga, Kabupaten Buton dan Pulau Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana.
Menanggapi hal itu, Nur Alam mengajukan permohonan praperadilan pada 16 September 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.