Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia di Hong Kong, Sringatin, kepada VOA menyebutkan, kematian Sumarti Ningsih adalah juga berarti hilangnya tulang punggung sebuah keluarga di Indonesia.
Dampaknya tidak hanya pada satu jiwa yang hilang, tetapi pada keluarga besar yang memperoleh dukungan pendapatan selama buruh migran bekerja di luar negerim ujarnya. Dalam kasus Sumarti Ningsih, kata Sringatin, beban kemiskinan akan kembali menimpa, terutama pada anaknya yang kini baru berumur tujuh tahun.
Pemerintah harus belajar dari kasus ini, dan mengambil langkah yang cukup untuk menjamin nasib keluarga buruh migran korban pembunuhan, tambahnya.
“Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih sama-sama korban. Korban kemiskinan dan juga korban kegagalan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi perempuan pedesaan. Juga korban sistem migrasi paksa dan penempatan yang buruk oleh pemerintah Indonesia yang sangat eksploitatif. Seperti dipaksa masuk PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) dengan potongan gaji yang sangat tinggi. Dan kadang mereka juga tidak memegang paspor, seperti kasus Sumarti Ningsih, yang paspornya ditahan oleh agen," ujar Sringatin.
Ia mendesak pemerintah melakukan evaluasi peraturan penempatan buruh migran, yang gagal menjamin keselamatan mereka ketika bekerja di luar negeri.
Pemerintah harus menjamin adanya sistem penempatan yang lebih baik, dan dalam kasus di mana buruh migran menjadi korban tindakan kriminal di negara manapun itu terjadi, ada mekanisme yang mampu memberikan jaminan keadilan bagi keluarga korban, ujarnya. [hd].
Sumber: VOA Indonesia