Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menghadirkan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di Jakarta untuk diperiksa terkait kasus suap sengketa Pilkada Buton.
Penyidik KPK memutuskan untuk mendatangi Akil Mochtar ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung tempat Akil menjalani pidana penjara seumur hidup.
"Jadi penyidik yang datang ke Sukamiskin dan melakukan pemeriksaan. Sampai saat ini pemeriksaan masih berlangsung," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Jakarta, Senin (31/10/2016).
Yuyuk mengaku belum mengetahui secara rinci sebab Akil tidak dihadirkan di Jakarta.
Walau demikian, Yuyuk mengatakan pemeriksaan mendatangi tempat terperiksa sebenarnya dimungkinkan.
"Saya belum dapat informasi apa alasannya. Tapi memang alasan itu dimungkinkan karena kita juga memeriska beberapa saksi di Sukamiskin kalau dibutuhkan," tukas Yuyuk.
Akil Mochtar diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Bupati Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun.
Dalam persidangan, Samsu Umar Abdul Samiun mengaku mentransfer uang Rp 1 miliar ke rekening CV Ratu Samagat.
Rekening tersebut milik istri Akil.
Samsu Umar sebelumnya mengaku dimintai uang Rp 6 milir oleh Arbab agar pihaknya dimenangkan dalam sengketa tersebut.
Sebelumnya, Samsu Umar Abdul Samiun ditetapkan sebagai tersangka terkait pengembangan pemberian hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi tahun 2011-2012.
Bupati Samsu dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akil divonis seumur hidup dan kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Vonis tersebut terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian uang.
Hakim menyatakan, Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa Pilkada dalam dakwaan kesatu.
Yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar).
Lalu Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), serta Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).
Untuk Pilkada Kota Palembang, hakim menyatakan bahwa orang dekat Akil, Muhtar Ependy, terbukti menerima Rp 19,8 miliar dari Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito.
Namun, majelis hakim tidak memperoleh kepastian mengenai total uang yang diterima Akil terkait Pilkada Kota Palembang itu.
Hakim juga menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar).
Lalu, Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).
Akil juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem.
Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Hakim juga menyatakan bahwa Akil terbukti menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana, sebesar Rp 7,5 miliar, sebagaimana dakwaan keempat.