Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWA.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyayangkan banyaknya nasehat yang masuk kepada presiden tidak memahami peta konstitusi dan Undang-Undang setelah amandemen ke-4.
Hal tersebut dinilai Fahri menyebabkan banyak sekali pernyataan yang sebetulnya sudah tidak relevan.
"Soal demonstrasi. masih digunakan kata ditunggangi dan digerakkan padahal sebetulnya demonstrasi dan penggeraknya legal dan sah," kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Rabu (9/11/2016).
"Lalu buat apa susah-susah mencari dalang dan penunggang segala?" tanya dia.
Fahri juga menyoroti persoalan makar.
Menurut Fahri banyak pihak yang belum memahami pasal makar sebagian besar sudah dibatalkan MK sebagai bentuk penyesuaian dengan UUD 1945 yang baru.
Makar dalam terminologi aslinya di KUHPidana disebut anslaag.
Aanslag, kata Fahri diartikan sebagai gewelddadige aanval atau dalam bahasa Inggris artinya violent attack,
"Artinya makar itu hanya terkait dengan fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat," katanya.
Fahri mengakui Bab II KHUPidana sebelum reformasi makar di bahas dari pasal 104 sampai dengan 129.
Namun, sekarang sudah banyak yang dihapus dan tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Pasal makar yang tersisa hanya yang terkait violent attack, seperti membocorkan rahasia negara, kerjasama dengan tentara asing dalam massa perang," kata Fahri Hamzah.
Sementara yang terkait dengan kehormatan dan martabat kepala negara, kata Fahri, sudah berubah menjadi delik aduan.
Fahri mengatkan amandemen 1945 memigrasi segala anasir otoriter yang berpotensi mengekang kebebasan befikir dan berekspresi masyarakat.
"Jadi salah tempat di era demokrasi ini kalau masih ada yang berpikir tentang makar," kata dia.
Menurutnya, Presiden naik dan jatuh diatur jalan keluarnya dalam konstitusi.
"Tak ada yang tidak diatur demi tertib sosial," ujar Fahri.
Selain itu, Fahri juga menjelaskan posisi dan tugas legislatif.
Ia menuturkan tidak ada fungsi pengawasan eksekutif pada legislatif.
Namun, yang memiliki fungsi pengawasan itu adalah legislatif.
"Fungsi pengawasan ini bisa di kantor DPR ataupun di luar kantor. Dan dalam menjalankan fungsinya tersebut tidak boleh ada yang menghalangi dan atau anggota DPR imun dari tuntutan," kata Fahri.
Hal itulah, kata Fahri yang menjadi alasan legislatif diberi hak imunitas oleh UUD 45.
Karena akan mengawasi kekuasan yang besar.
Menurut Fahri, pihak eksekutif bisa saja tidak rela diawasi lalu menggunakan kekuasaan untuk menjegal dan melawan pengawasan.
"Jadi ini bukan soal makar atau melawan, tapi soal pengawasan. Kalau memang bangsa ini menghendaki anggota DPR yang diam. Sebaiknya kita kembali ke sistem otoriter," ujar Fahri Hamzah.
Fahri tidak percaya kemajuan ekonomi yang hanya meletakkan manusia dalam mesin produksi.
Ia mengingatkan UUD 1945 adalah konstitusi manusiawi yang meletakkan manusia lebih penting dari apapun.
"OSebab itu pemerintahan Jokowi jangan lagi menggunakan kosa kata yang sudah hilang di era demokrasi ini," kata Fahri.
Sebelumnya, Barisan Relawan Jokowi Presiden (BARA JP), Rabu (9/11/2016) menyambangi Bareskrim di KKP-Gambir, Jakarta Pusat.
Maksud kedatangan mereka yakni melaporkan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah atas dugaan penghasutan dan makar dalam demo 4 November 2016.
Ketua BARA JP Kepulauan Riau, Birgaldo Sinaga di Bareskrim mengatakan ucapan Fahri dalam demo 4 November 2016 lalu sarat dengan provokatif, sehingga memicu massa pendemo untuk bertindak anarkis.
"Ucapan Fahri berbahaya bagi republik ini," katanya.
Menuerut dia, sebagai anggota DPR harusnya dia menjaga kebangsaan dan nilai-nilai kebhinekaan.
"Tapi dia malah memutarbalikan fakta dengan bahasa yang provokatif, menuduh Presiden Jokowi melakukan penghinaan terhadap ulama," ucapnya.