TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun atas tuduhan pembunuhan berencana bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen pada awal 2010, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar yang merasa dijebak terus berupaya mencari kebenaran.
Upaya hukum lanjutan hingga tahap Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung pun dia jalani, meski ditolak.
Belum puas mencari keadilan di Mahkamah Agung, Antasari mencoba ke lembaga peradilan lain, Mahkamah Konstitusi.
Langkahnya mencari keadilan di institusi yang pernah dipimpin Mahfud MD, bahkan sempat membuahkan terobosan hukum baru di Indonesia.
Pada 2014, Antasari mengajukan uji materi terkait Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 268 Ayat 3 yang membatasi pengajuan PK.
Hamdan Zoelva yang memimpin sidang kala itu mengabulkan permohonan mantan jaksa itu, sehingga PK dapat diajukan lebih dari sekali, jika ditemukan bukti baru.
Bersama Su'ud Rusli, terpidana kasus pembunuhan Bos Asaba, Budyharto Angsana, Antasari juga mengajukan peninjauan kembali batasan waktu permohonan grasi. Permohonan itu juga dikabulkan hakim konstitusi.
Dua praperadilan untuk meminta pengadilan membuka pesan singkat yang diduga ancaman dari Antasari ke Nazaruddin pun sempat digelar.
"Karena kami menduga tidak ada sms itu," kata Boyamin Saiman yang menjadi pengacara Antasari sejak 2013.
Tidak hanya itu, gugatan perdata yang ditujukan kepada Rumah Sakit Mayapada juga dilakukan pihak Antasari.
Mereka menduga ada baju Nazaruddin yang dihilangkan guna mengaburkan bukti. Namun, praperadilan dan gugatan perdata mereka dipupuskan hakim.
Meski tidak sampai membebaskan kliennya dari tuduhan, Boyamin merasa upayanya membela tidak sia-sia.
Pengacara sekaligus Koordinator LSM MAKI (Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia) ini, juga tidak ambil pusing puluhan juta rupiah uangnya habis.
Padahal, dia mengaku tidak terima bayaran sepeser pun dari Antasari.
"Sekitar mungkin Rp 50 juta uang saya habis," ujarnya.
Uang yang cukup banyak itu, diakui Boyamin dia dapat dari perkara lain dalam penanganannya.
Berkurangnya isi dompetnya, dikatakan Boyamin, sebenarnya tidak sia-sia. Pasalnya, dalam pengorbanan membela Antasari, namanya mulai dikenal publik.
Firma hukum yang dia dirikan pun mulai dilirik orang-orang berperkara.
"Kalau saya iklan di semua media yang menayangkan kasus ini, uang segitu mana cukup," sebutnya.
Selain itu, Boyamin menyebut banyak pihak yang senang hati membantu tanpa minta bayaran.
Terlebih para ahli hukum kenamaan yang rela tidak dibayar untuk menjadi ahli dalam persidangan.
Ada beberapa ahli hukum yang berdomisili di luar Jakarta hanya minta dibayari tiket. Sedangkan yang tinggal di Jabodetabek, rela datang tanpa upah seperak pun.
"Kaya Prof Yusril (Yusril Ihza Mahendra) dan Prof Romli (Romli Atmasasmita), uang bensinnya pun tidak saya bayar. Padahal, di perkara lain bayaran mereka tinggi sekali untuk jadi ahli," ujar Boyamin. (val)