TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Memanasnya situasi politik pasca-demonstrasi 4 November lalu, memunculkan wacana kudeta. Presiden Jokowi dibuat sibuk menyambangi markas kesatuan tentara, seiring isu pergantian panglima TNI.
Yang berawal dari kontestasi Pilkada DKI, kemudian memunculkan dugaan, ditunggangi oleh aktor-aktor politik, mengarah pada situasi yang lebih kompleks yang diduga bisa berujung pada kudeta.
Demikian perbincangan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Front Pembela Indonesia (FPI)-Bhinneka bertema “Membaca Tanda Sejarah, Menjaga Indonesia Bhinneka” di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (16/11/2016).
Sejarawan Bonnie Triyana dalam diskusi itu menjelaskan, diseluruh dunia kudeta lebih banyak digerakkan dengan menunggangi gerakan massa.
“Ada 121 kudeta dengan menunggangi demonstrasi massa, dibanding perjuangan bersenjata yang hanya 6 yang berhasil,” kata Bonnie.
Aksi 4 November nyaris mengkhawatirkan terjadinya kudeta ketika massa berencana menduduki parlemen.
“Kudeta adalah cara-cara inkonstitusional, tapi bisa dibuat seolah-olah konstitusional, contohnya kudeta tahun 1965. Soeharto tidak bisa diadili karena sudah dikonstitusionalisasikan,” lanjut Bonnie.
Direktur Imparsial Al A’raf dalam diskusi itu menjelaskan, beberapa hal terjadinya kudeta. Pertama, pertikaian tajam di antara elite politik yang menimbulkan deadlock.
Kedua, masih kuatnya pandangan di tubuh militer, ancaman datang dari dalam negeri, bukan dari luar. Dan yang ketiga, tipe militer pretorian yang mengklaim sebagai penyelamat bangsa. Keempat, adanya dukungan luas dari masyarakat.
“Kudeta seperti di Thailand dan Mesir bisa terjadi karena didukung rakyat, di Indonesia sekarang masyarakat tidak ingin kegaduhan,” kata Al A’raf.
Prasyarat kelima adalah instabilitas politik akibat konflik dan kekerasan berkepanjangan. “Indonesia harus belajar dari kasus Rwanda, ketika politisasi SARA berujung pada genosida, harus ada regulasi yang serius tentang ujaran kebencian (hate speech),” lanjut Al A’raf.
Penyampaian pendapat lewat aksi-aksi massa sah-sah saja, tetapi jangan sampai berujung pada kekerasan yang membuka ruang masuknya militer untuk mengambil alih kekuasaan.'
“Sampai saat ini TNI/Polri telah melalui proses reformasi yang panjang, tidak ingin melakukan kudeta,” ungkap Al A’raf.