TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden pertama RI Sukarno menyebut peci sebagai simbol nasionalisme yang menunjukan jati diri bangsa.
Selain itu, Sukarno pun hendak menunjukkan peci sebagai simbol kesetaraan. Sebab, dahulu peci adalah tutup kepala kaum buruh melayu.
Peci kemudian menjadi identitas resmi Indonesia. Itu tampak dari foto resmi pejabat negara yang pria selalu mengenakan peci hitam.
Tak terkecuali para pimpinan DPR. Dua pimpinan DPR menjadikan peci sebagai aksesoris wajib dalam aktvitas kesehariannya, yakni Ketua DPR Ade Komarudin dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Ade mengaku tak pernah mencopot peci hitam sejak kali pertama mengenakannya pada akhir 2014.
Namun, alasan Ade mengenakan peci berbeda dengan Bung Karno. Putra Ade yang saat itu duduk di kelas lima SD, yang mengilhaminya untuk mengenakan peci.
Momen itu, kata Ade, bermula saat ia tengah bercermin. Putra ketiganya yang berada di samping tiba-tiba mengatakan rambut Ade kini mulai tipis.
"Pah sudah mau tipis tuh rambut. Enggak bagus lagi. Dulu sih tebel. Berarti kan sekarang makin tua, sudah pakai peci saja. Kan udah mulai tua juga sekarang. Sudah pake peci aja pah. Kaya Bung Karno juga nanti kalau pakai peci," ujar Ade menirukan suara putranya yang saat itu masih duduk di bangku kelas 5 SD.
"Dalam hati saya anak kecil ini sudah ngerti politik juga. Sudah kaya politisi juga. Saya bilang ke istri beliin deh. Sampai hari ini (peci) tidak pernah copot," lanjut Ade.
Ade mengatakan peci kini telah menjadi bagian penting dalam penampilannya sehari-hari.
Apalagi, sebagai mantan santri, Ade dulu kerap mengenakan tutup kepala tersebut.
"Jadi waktu pertama kali pakai peci enggak ada rasa canggung. Saya kan pernah di pesantren waktu SMP 1 tahun, SMA 1 tahun. Dulu di pesantren tradisional di Purwakarta," tuturnya.
Politisi Partai Golkar itu mengaku bangga mengenakan peci. Meskipun, kata Ade, ada saja orang yang menilai peci itu simbol orang kampung.
Karena di daerah pemilihan (dapil)-nya di Purwakarta, haji-haji di kampunglah yang sering mengenakan peci.
"Kalau saya pakai ini (peci) rasanya ya egaliter aja. Pakai batik dan peci. Sama kaya Pak Haji. Makanya kalau saya ketemu mereka dipanggilnya Pak Haji karena peci," ucap Ade.
Tak lupa, Ade mengakui alasannya memakai peci hingga kini juga karena sisi nasionalisme dari tutup kepala berwarna hitam itu.
Meski kini peci populer di kalangan santri, menurut Ade itu tetap tidak menghilangkan sisi nasionalisme peci.
Sebab menurut Ade, santri juga memiliki peran strategis dalam proses kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Selain itu, Ade mengaku peci juga menjaganya dari hal-hal negatif. Saat ditanya apa maksudnya, ia hanya berseloroh.
"Ya begitu lah. Dengan memakai peci saya jadi ingat bahwa tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak patut," papar dia.
Lain halnya dengan Ade, alasan Fahri pertama kali mengenakan peci yakni memenuhi permintaan Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Al Jufri.
Fahri mengungkapkan waktu awal kali menjadi pimpinan DPR, Salim memintanya mengenakan peci agar terlihat lebih kalem.
"Tapi Sekalem-kalemnya yang kita usahakan enggak bisa juga ubah karakter kita sejak lahir. Saya pertahankan pecinya, kalau kalemnya enggak janji. karena ini juga simbol nasional. Bung Karno yang temukan peci kita ini, jadi ada dua alasan," kata Fahri saat ditemui di ruangannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Fahri menilai Bung Karno sejak awal mengenakan peci untuk menunjukan identitas resmi Indonesia.
Saat itu, kata Fahri, di tahun 1940an hingga 1950an, para pemimpin di kancah internasional kerap menunjukan identitas kebangsaan.
"U Nu dari Myanmar dengan sarung khas Burmanya, Nehru dari India dengan peci putih lancipnya, Nah akhirnya peci hitam ini sebagai simbol kebangsaan. Dan ini disebut peci nasional," tutur Fahri.
Selain itu, Fahri menganggap peci juga menjadi penanda bagi seseorang yang sedang berada dalam situasi resmi, salah satunya di saat menjalankan roda pemerintahan seperti yang ia alami sekarang.
"Cuma karena ada asosiasi relijiusnya, saya ini kan bukan ustadz dan kadang pikirannya dirasa modern atau liberal. Nah, orang kadang bilang enggak cocok sama pecinya," seloroh Fahri.
"Padahal enggak ada masalah. Sebagai peci nasional, Muchtar Pakpahan tokoh buruh nasional yang nonmuslim aja pakai peci," lanjut dia.
Meski Ade dan Fahri memiliki alasan yang berbeda saat pertama kali mengenakan peci, keduanya punya jawaban yang sama saat ditanya apakah terus mengenakan peci bila nantinya tak lagi menjabat sebagai pimpinan DPR.
"Kalau jadi pejabat dan tokoh masyarakat saya kira sebagai tokoh masyarakat kita terikat dengan peci juga. Karena kalau masyarakat ngundang kan bagus pakai peci. Saya kira enggak ada masalah. Dalam peran apapun saya kira kita menarik pakai peci," kata Fahri.
"Masih pakai dan saya enggak nyalon lagi di DPR, sudah merasa tua," kata Ade secara terpisah.