TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak menginginkkan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diperpanjang.
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Binsar Gultom mengajukan permohonan uji materi ke MK terkait Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang MK, yang membatasi masa jabatan hakim MK.
Binsar Gultom meminta masa jabatan hakim MK diperpanjang hingga umur 70 tahun.
Berikutnya adalah Center for Strategic Studies University Of Indonesia (CSS-UI), yang menilai masa jabatan hakim MK mustinya seumur hidup.
Dalam permohonannya, CSS-UI menilai masa jabatan harus diperpanjang, untuk membatasi potensi komodifikasi oleh oknum politik, setiap kali digelar pemilihan.
Menanggapi itu, Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Aradila Caesar menilai permohonan tersebut tidak tepat.
Pasalnya, yang akan menyindangkan dan memutuskan adalah para hakim MK, yang berkepntingan terhadap permohonan tersebut.
"Harusnya dari awal ditolak permohonannya, karena berkaitan dengan hakim MK," ujar Aradila Caesar dalam pemaparannya di kantor ICW, Jakarta Selatan, Minggu (27/11/2016).
Padahal, kata dia, kinerja MK di bawah kepemimpinan Arief Hidayat juga tidak menunjukkan kinjera yang memuaskan.
Hal itu antara lain terlihat dari dimenangkannya gugatan mantan Ketua DPR Setya Novanto alias Setnov, terkait alat bukti rekaman yang menyebabkan Setnov bisa memperbaiki namanya di DPR RI.
Selain itu, MK juga sudah mengabulkan permohonan Anna Boentaran, istri dari terpidana kasus korupsi, Djoko Tjandra yang hingga kini masih buron.
MK mengabulkan gugatan Anna Boentaran, yang meminta agar kewenangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali dihapuskan.
Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, dalam kesempatan yang sama menilai perpanjangan masa jabatan hakim MK justru akan menimbulkan potensi korupsi, karena masa jabatan yang diperpanjang, dan sedikit banyaknya menutup celah untuk perubahan.
"Kalau tidak ada perbaikan, gimana MK bisa memberikan putusa yang brilian," katanya.
Kata dia, perbaikan di tubuh MK sendiri seharusnya bisa dilakukan melalui revisi Undang-Undang (UU) MK, yang prosesnya masih berlangsung di DPR RI.
Proses tersebut menurutnya lebih objektif ketimbang permohonan yang harus diputus ketua MK sendiri.