TRIBUNNERS, JAKARTA - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace, Jumat (9/12/2016), melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk mendesak perbaikan kebijakan penempatan dan perlindungan buruh migran anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing di luar negeri.
Aksi ini dilakukan sehari sebelum peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) dunia yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 10 Desember.
Kemnaker selama ini dipandang lalai menjalankan kewajiban dan kewenangannya untuk melindungi nelayan Indonesia dari kejahatan perdagangan manusia.
Keselamatan jiwa dan hak-hak nelayan Indonesia yang bekerja di atas kapal ikan asing di luar negeri seringkali terabaikan hingga menyebabkan sebagian besar diantaranya juga terjebak dalam kegiatan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing).
Hariyanto, Ketua Umum SBMI, mengungkapkan bahwa kelalaian tersebut disebabkan oleh tumpang tindihnya kewenangan antar kementerian dan lembaga negara.
Akibatnya, penempatan nelayan Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing sarat dengan praktik-praktik perdagangan manusia dan perbudakan di atas kapal ikan.
Kelalaian tersebut jelas terbukti dengan tidak mampunya Kemnaker selama 12 tahun untuk menerbitkan regulasi turunan yang dimandatkan oleh Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri yang berbunyi.
Pasal tersebut berbunyi, "Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri."
Selain itu, Kemnaker juga mengabaikan Pasal 337 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyebutkan bahwa, “Ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.”
Kelalaian Kemnaker berujung pada kekisruhan tata kelola penempatan dan perlindungan buruh migran ABK dengan terbitnya Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 3 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013.
Kedua peraturan ini secara prinsip dan substantif telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Tumpang tindih kewenangan tersebut menyebabkan berbagai dampak yang sangat merugikan buruh migran ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing diantaranya, prosedur penempatan ABK yang tidak beres, lempar tanggungjawab perlindungan dan penanganan kasus ABK yang menghadapi persoalan di luar negeri, dan terjebaknya ABK dalam kegiatan IUU Fishing.
Saat ini Indonesia adalah negara pengirim buruh maritim terbesar ketiga di seluruh dunia, dengan jumlah mencapai lebih dari 200 ribu orang.
Dari jumlah tersebut, 77 persennya adalah buruh migran yang menjabat ABK kapal ikan.
Sisanya adalah buruh yang menjabat sebagai ABK di kapal kargo, pesiar dan lainnya.
Meski jumlahnya terbesar, namun nasib ABK kapal ikan inilah yang paling tidak terlindungi dan paling rentan diantara buruh maritim lainnya.
>