TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengaku siap diberhentikan sementara sebagai gubernur, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Pada aturan disebutkan kepala daerah harus diberhentikan sementara tanpa melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Kemudian tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai gubernur, maka yang memiliki wewenang untuk memberhentikan Ahok adalah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Ahok mengaku siap, bila memang harus diberhentikan sementara, lantaran harus melalui proses hukum kasus penodaan agama.
"Saya tidak tahu, tanya Menteri Dalam Negeri, tafsiran seperti apa. Ini kan' bukan pidana khusus korupsi. Saya tidak bisa berandai-andai, tapi saya siap berbuat apa saja untuk negara ini. Untuk memperjuangkan keadilan sosial, saya sangat siap. Karena saya masuk ke politik dalam rangka mewujudkan keadilan sosial," ucap Ahok di Rumah Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/12/2016).
Ahok bisa kembali menjabat sebagai gubernur, setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan, paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan pengadilan.
Presiden yang akan mengaktifkan kembali Ahok.
Selasa kemarin, Ahok menjalani sidang perdana sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama.
Ahok dijerat Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perkara penistaan agama.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia