TRIBUNNEWS.COM - 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM Internasional dan Komnas Perempuan hendak memorialisasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Di Solo, Jawa Tengah, peristiwa Mei 98 menelan 30 korban meninggal. Sayangnya kuburan massal itu kini dibiarkan terlantar. Lalu seperti apa memorialisasi itu?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
Sebuah makam cukup besar berukuran 2x10 meter berada di tengah komplek pemakaman TPU Purwoloyo, Solo.
Ilalang, tanaman liar, dan rumput menutupi seluruh makam tersebut, menunjukkan kalau kuburan ini tak pernah dikunjungi pun dirawat.
Tak ada pula nisan yang menuliskan nama, tanggal kelahiran dan kematian, Hanya ada kayu bertuliskan Mister X.
Seorang penjaga makam mencabuti rumput, ilalang, dan tanaman liar. Salah seorang penjaga makam tersebut, Tri Wahyuni, bercerita asal mula kuburan tersebut.
“Terjemahan bahasa Jawa: Ya saya menyaksikan langsung pemakaman korban ini. Ya di sini lokasinya. Sekitar jam 4 sore. Mayat ditaruh di karung, ada juga yang dibawa pakai plastik kresek. Terus dimasukkan ke lubang galian ini. Dicampur semuanya. Setelah semua mayat dimasukkan lubang terus ditutupi pakai anyaman bambu dan dikubur,” ungkap Wahyuni.
“Tidak dipeti, hanya dimasukkan karung atau kantong plastik kemudian dikubur. Kondisi mayatnya kan gosong, korban kebakaran saat kerusuhan terjadi di Solo Mei 1998 lalu. Banyak aparat TNI dan polisi yang ikut memakamkan para korban ini. Mayatnya berjajar di lubang panjang ini,” tambahnya lagi.
Diperkirakan ada 33 jenazah yang terkubur di makam massal TPU Purwoloyo. Dan mereka adalah korban tragedi Mei 98.
Peristiwa itu tepatnya terjadi pada 14-15 Mei 1998. Dimulai dari aksi demontrasi ribuan mahasiswa berbagai kampus, yang kala itu menuntut mundurnya Presiden Soeharto.
Mahasiswa yang berbaur dengan masyarakat, kemudian mengarah ke Jalan Slamet Riyadi atau pusat kota. Di sana, tampak kepulan asap membumbung tinggi yang berasal dari ban bekas.
Massa lantas melempari gedung perkantoran dan ruko dengan batu hingga akhirnya membakar. Di antara amukan massa itulah, mereka menjarah barang-barang yang ada di mal.
Sementara itu, polisi bergeming. Sempat ada upaya anggota kepolisian menghentikan aksi itu, tapi gagal. Malah, beberapa orang berpakaian TNI turut berjalan di kerumunan. Mereka tak melarang, justru membiarkan massa merusak bangunan dan pertokoan.
Selang sehari, kondisi di Solo masih tegang. Jalanan tampak lengang. Tapi jejak kerusuhan masih bergelimpangan di jalan. Dan bau asap, masih tercium.
Sekira 33 mayat ditemukan dalam kondisi hangus terpanggang, tersebar di sejumlah mal. Sunaryo Haryo Bayu, fotografer media cetak yang berada di lokasi, menyaksikan sendiri proses evakuasi mayat-mayat itu.
“Saya berada di pusat pertokoan Coyudan Solo saat tragedi Mei 1998 berlangsung. Di situ saya melihat ada 9 orang terjebak di dalam sebuah toko sepatu, mungkin mereka sedang berada di dalam toko, di luar toko dibakar. Sehingga tidak bisa lari ke luar. Kesembilan jenazahnya ditemukan di dalam satu kamar mandi, sebagian ada yang di dalam bak mandi, lainnya di luar bak mandi. Dalam kondisi hangus,” ujar Sunaryo.
“Saya tidak tahu itu laki-laki atau perempuan, karena kondisinya sudah tidak berwujud. Kemudian dievakuasi polisi dan petugas PMI. Saya bertugas di lokasi itu dan kesulitan menjangkau daerah lain karena situasinya tidak seperti sekarang, arus infromasi sangat minim, saya hanya melihat di situ. Saya hanya melakukan peliputan di satu tempat ya di kawasan pertokoan Coyudan Solo,” tambahnya lagi.
Tim dari komnas Perempuan melihat langsung kondisi makam massal ini dan informasi yang diperoleh ada sekitar 20an jasad yang dimakamkan di TPU Purwoloyo, yang menjadi salah satu lokasi makam massal korban tragedi Mei 98 di Solo.
Komisionernya, Mariana Amiruddin, mengatakan kondisi makam sangat memprihatinkan. Dan hal ini menunjukkan ketidakpedulian pemerintah pada korban pelanggaran HAM.
“Kesaksian warga setempat mengungkap ada kantong jenazah dan mayat yang dikubur di sini. Ada aparat yang ikut terlibat dalam pemakaman korban 98 ini. Berarti ada jasad di makam ini. Sebetulnya kalau mau dilakukan penyelidikan maupun penyidikan berlanjut, bisa dibongkar makam massal ini dan diidentifikasi,” kata Mariana.
“Kondisi makam ini bentuk ketidakpedulian, ya karena sejarahnya tidak diungkap secara utuh. Kalau ini diungkap kan bisa dibikin bagus makamnya dan semua orang akan tahu bahwa ada peristiwa tragedi kemanusiaan. Pemerintah juga kelihatan care-nya kan pada peristiwa itu. Ya kita perlu meyakinkan pemkot Solo bahwa mayat itu betul-betul ada, masak mau dibilang gak ada,” ujar Mariana.
“Simpel sebenarnya, yang penting diakui dulu bahwa tragedi itu memang ada dan di sini lokasi makam massalnya. Hal-hal kecil seperti ini, membuat makam yang layak, mendoakan, dan memberi penghormatan untuk para korban tragedi Mei 98 di Solo,” tambahnya lagi.
Tujuan Komnas Perempuan ke TPU Purwoloyo ini adalah bagian dari rangkaian memorialisasi atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Dengan begitu, pemerintah dan publik takkan lupa serta memberi penghormatan pada para korban.
Sebuah keniscayaan pula, memorialisasi ini bisa mendorong pemenuhan hak korban dan keluarganya, memutus impunitas, dan memastikan peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang.
Karena itulah, Komnas Perempuan menemui Dyah Sujirah –istri Widji Thukul, penyair era Orde Baru yang hilang diduga korban penghilangan paksa.
Ditemui di rumahnya di salah satu sudut kota Solo, ia berharap dibangun prasasti sebagai penanda dan pengingat.
“Saya inginnya di TPU Purwoloyo yang menjadi makam korban tragedi Mei 98 di Solo juga diberi prasasti. Itu tanda bahwa telah terjadi tragedi Mei 98, perubahan reformasi, yang harus diingat pada orang-orang yang menikmati masa itu dengan cara menghilangkan orang-orang lainnya. Jadi kayak diberi prasasti lah. Seperti itu,” kata Dyah.
“Kita tidak bisa menyebut jumlah korbannya, jangan sampai kita salah menyebut jumlah korban, angka kan bisa lebih bisa kurang, dan itu berdampak ke keluarga korban yang belum terhitung atau tidak masuk data. Nanti arwah korban itu bisa tidak terima. Prasasti ini supaya pemerintah tahu juga ini ada tanda peristiwa sejarah kelam. Prasasti sederhana saja. Gak usah yang mewah, ini itu,” ungkap Dyah.
“Setiap tahun keluarga melakukan tabur bunga, berapa banyak duit yang dikeluarkan, mending uang itu untuk menghidupi atau membantu keluarga korban.sementara keluarga korban yang masih bertahan hidup, seperti apa, hidup dalam jeratan utang. Pikirkan yang masih hidup, secara psikologi kan itu bentuk cinta kita pada sejarah,” tambahnya lagi.
Sepulang dari rumah Dyah Sujirah, Komnas Perempuan berusaha menemui Wali Kota Solo, tapi tak berhasil.
Pernah, Wali Kota Hadi Rudyatmo mengatakan setuju membangun prarasti atau monumen peringatan Mei 98, tapi tak mudah. Harus ada kajian yang akurat terutama tentang identitas para korban.
“Kalau mau membangun prasasti atau monumen tragedi Mei 1998 di Solo, ya nggak masalah buat saya.. ini kan tujuannya untuk mengingatkan masyarakat agar tidak terulang kembali... kan harus ada kejelasan bagaimana rangkaian persitiwa, para saksi sejarah, para korban yang masih hidup maupun yang meninggal, lokasi kejadian, dan sebagainya..harus akurat..soalnya ini kan menyangkut peristiwa kelam, korban yang meninggal di tragedi itu., selain itu, saya juga perlu mengetahui kondisi dan latar belakang para keluarga korban tragedi Mei 1998 ini,” ujar Hadi.
Penulis: Yudha Satriawan/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)