Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla semakin menancapkan kukunya di parlemen.
Pemandangan itu tergambar pada dua tahun Presiden Jokowi memimpin yang jatuh pada tanggal 20 Oktober 2016.
Bergabungnya partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP) kepada pemerintah membuat kebijakan Jokowi-JK terbilang mulus di parlemen.
Dimulai dari perpecahan PPP antara kubu Romahurmuziy dan Djan Faridz.
Kubu Romahurmuziy yang memimpin partai berlambang Ka'bah itu akhirnya bergabung dengan pemerintah serta menempatkan kadernya Lukman Hakim Syaifudin di posisi Menteri Agama.
Tak lama setelah itu, PAN yang dipimpin Zulkifli Hasan juga menyatakan dukungannya kepada pemerintah. Padahal, Ketum PAN sebelumnya Hatta Rajasa merupakan calon wakil presiden yang mendampingi Ketum Gerindra Prabowo Subianto.
Presiden Jokowi akhirnya memberikan satu kursi Menpan RB kepada Asman Abnur yang tak lain menjabat sebagai Waketum PAN.
Terakhir, Partai Golkar berubah haluan saat masa transisi Aburizal Bakrie kepada Setya Novanto.
Setelah perpecahan kedua partai yang cukup lama antara kubu Bali dan kubu Ancol, Golkar mengadakan rekonsiliasi dan menyatakan dukungan kepada pemerintah.
Bahkan dibawah kepemimpinan Setya Novanto, partai berlambang pohon beringin itu telah menyatakan dukungan kepada Joko Widodo sebagai calon presiden pada pemilu 2019.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengakui kekuatan oposisi di parlemen melempen. Praktis kekuatan oposisi kini hanya ditopang oleh Gerindra dan PKS.
"Perubahan peta kekuatan di parlemen yang terjadi setelah Golkar, PAN, dan PPP memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah mengakibatkan koalisi pendukung pemerintah menjadi kekuatan mayoritas di parlemen," kata Lucius kepada Tribunnews.com.
Komposisi kekuatan baru yang terbentuk menghasilkan 386 kursi DPR menjadi pendukung pemerintah.
Tercatat, hanya 113 kursi di kelompok oposisi serta 61 kursi Demokrat yang sikapnya tidak jelas sikap politiknya diantara koalisi dan oposisi.
Lucius Karus mengatakan perpindahan partai-partai yang semula menjadi oposisi ke koalisi pendukung pemerintah praktis mengakibatkan melemahnya kekuatan kelompok oposisi di parlemen.
Lucius Karus melihat Gerindra dan PKS yang masih bertahan sebagai oposisi tak cukup militan untuk menjadi penyeimbang yang signifikan terhadap kelompok pendukung pemerintah.
"Mestinya kelompok oposisi tersebut masih bisa berbicara banyak walau dengan komposisi kursi yang sedikit, jika saja mereka konsisten menjadi penyambung lidah rakyat setiap kali DPR akan melakukan pembuatan keputusan," kata Lucius Karus.
Sayangnya, Lucius Karus mengatakan peran itu juga tidak maksimal dimainkan oleh Gerindra dan PKS. Mereka lebih cenderung menjadi kritikus pemerintah dengan strategi-strategi 'menyerang total', sehingga lupa dengan rakyat yang menjadi kekuatan sesungguhnya.
"Suara-suara oposisi parlemen ini justru kerap berlawanan dengan suara publik kebanyakan. Hal itu tentu saja membuat oposisi parlemen menjadi semakin lemah karena tak mendapat dukungan signifikan dari publik ketika berhadap-hadapan dengan pemerintah," jelas Lucius Karus.
Ia mencontohkan usulan revisi UU KPK. Dalam isu tersebut, kelompok oposisi gagal membangun kekuatan suara rakyat. Hal itu terjadi ketika sebagian dari mereka malah berlawanan dengan keinginan rakyat untuk mempertahankan UU KPK serta institusi KPK saat ini.
"Sejumlah politisi dari kelompok oposisi menjadi corong bagi penggerusan dan penghapusan KPK, sesuatu yang bertentangan dengan semangat publik kebanyakan yang ingin memperkuat KPK," tutur Lucius Karus.
Padahal ide merevisi UU KPK muncul dari pemerintah, sesuatu yang mestinya bisa menjadi momentum penguatan oposisi di parlemen jika mereka bersekutu dengan publik saat itu.
Selain itu, Lucius melihat kelompok oposisi di parlemen juga tidak kuat dalam membangun konsep dan wacana untuk mengimbangi konsep dari kelompok pendukung pemerintah.
Akibatnya yang muncul dari oposisi hanya sebatas kritik yang kadang kontraproduktif karena tidak disertai dengan konsep-konsep tandingan yang meyakinkan.
"Ini membuat kelompok oposisi tak punya bargaining dalam konstelasi pembuatan keputusan parlemen. Mereka nampak tidak siap dan gagap setiap kali mencoba mengkritisi program pemerintah," jelas Lucius Karus.
Menurut Lucius, hilangnya daya kritis parlemen, tak lepas dari ketatnya pemerintah menjaga konsistensi atas perencanaan dan pelaksanaan program-program yang dijalankan.
Pemerintah mempunyai skema kerja yang cukup rapi berhadapan dengan DPR yang terlalu sibuk memikirkan kalkulasi politik.
"Hasilnya DPR selalu "tak berdaya" berhadapan dengan pemerintah," ujar Lucius.
Pada saat bersamaan, DPR sebagai lembaga tak bisa secara meyakinkan memberikan bukti atas kerja-kerja mereka.
Ketika akan mengkritisi pemerintah, pada saat yang sama mereka selalu gagal menunjukkan bahwa lembaga itu pantas mengkritik karena mereka sudah bekerja dengan baik.
"Belum lagi dengan banyaknya kasus-kasus korupsi dan pelanggaran etis yang membuat DPR sebagai institusi mengalami penggerusan kredibilitas di hadapan pemerintah yang berhasil menyedot simpati publik melalui program-programnya," jelas Lucius Karus.
Pengawasan DPR menjadi mandul, karena parlemen gagal membangun kekuatan lembaga dengan hasil kerja nyata dan teladan hidup yang terpuji.
Lucius Karus juga melihat melempemnya oposisi di parlemen diperparah dengan situasi partai-partai koalisi pemerintahan yang kian pragmatis.
Pragmatisme di tubuh partai-partai koalisi pendukung pemerintahan sangat menonjol ketika Golkar, PPP, dan PAN memutuskan bergabung dengan pemerintah.
"Menyusul keputusan penggabungan mereka, isu yang mencuat adalah permintaan partai-partai itu untuk melakukan reshuffle kabinet kepada presiden sebagai kompensasi atas dukungan yang telah mereka berikan," ungkap Lucius Karus.
Nampak begitu pragmatisnya partai-partai tersebut sehingga tak ada konsistensi sikap. Berpindah-pindah mengikuti orbit kekuasaan menjadi sesuatu yang seolah-olah wajar.
Lucius Karus mengatakan kondisi itu dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah yang memang mempunyai banyak target.
Pemerintah sangat berkepentingan untuk memastikan target-target mereka tak dihambat oleh sikap perlawanan parlemen yang hampir pasti bisa menggagalkan rencana pemerintah.
"Oleh karena itu pemerintah dengan tangan terbuka menyambut kehadiran Golkar, PAN, dan PPP yang sedang mencari kenyamanan bersama di dalam pemerintahan," tutur Lucius.
Menurut Lucius, pragmatisme ini yang menyebabkan mandulnya pengawasan parlemen. Partai-partai di parlemen tak perlu lagi repot-repot memikirkan rasionalitas program pemerintah selagi mereka diberikan ruang untuk turut serta dalam permainan.
Bahkan agar ruang bermain menjadi kian leluasa, partai-partai pendukung pemerintah ini merasa wajib untuk tampil bak pahlawan yang akan membela habis-habisan program pemerintah.
"Sikap itu kadang mengancam kesolidan partai-partai pendukung pemerintah karena persaingan untuk menjadi pahlawan di mata pemerintah pun menjadi sangat tajam," kata Lucius Karus.
Ketua DPP Gerindra Desmond J Mahesa mengakui partai-partai politik saat ini terkuasai oleh penguasa. Proses pengawasan menjadi jauh lebih lemah dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Disini kalau kita bicara kekuasan anatominya Pak Jokowi ini jauh lebih berkuasa dibanding zaman SBY. SBY menaati hukum, ini nabrak kemana-mana," kata Desmond ketika dikonfirmasi Tribunnews.com.
Desmond J Mahesa menegaskan tidak ada oposisi murni saat ini. Gerindra, katanya, akan mendukung pemerintah bila kebijakan tersebut pro rakyat.
"Tapi tidak mendukung membabi buta," kata Desmond J Mahesa.
Dua tahun pemerintahan Jokowi, Desmond melihat DPR tidak pernah bersikap atas kebijakan presiden yang diduga melanggar sumpah jabatan. Parlemen juga tidak menggunakan hak bertanya.
"Parlemen tidak pernah bersikap, bersikap kan meluruskan agar secara konstitusi presiden melanggar sumpah jabatan. Ini kan negara hukum bukan kekuasaan," kata Wakil Ketua Komisi III DPR itu.
Sejumlah program pemerintah pun kini hanya dikritisi oleh Gerindra dan PLS. Contohnya, Perppu Kebiri serta UU Tax Amnesty.
Desmond J Mahesa menuturkan Koalisi Merah Putih (KMP) masih solid di masa awal Presiden Jokowi berkuasa. Pada akhirnya, KMP dihancurkan.
"Dihancurkan Golkar dan PPP. Itu melemah akhirnya Golkar menyelamatkan diri dan tersandera, konflik PPP dimainkan, parlemen sehat jadi tidak ada lagi," sebut Desmond J Mahesa.
Desmond kembali mencontohkan situasi politik di Golkar yang dipimpin Setya Novanto. Mantan Ketua DPR itu banyak mengakomodir kubu Ancol dalam kepengurusannya.
Padahal, kubu Ancol yang dahulu dipimpin Agung Laksono telah menyatakan dukungan kepada Presiden Jokowi sejak awal.
Desmond pun menganggap Novanto hanya Ketua Umum Golkar secara status saja.
"Berhadapan penguasa dengan raja tega, ya dihancurkan dan dikuasai. Golkar ketuanya bukan Novanto, ketua bayangan ya Jokowi. Jadi (Golkar) manut saja," kata Desmond J Mahesa.
Desmond mengingatkan partai politik seharusnya menjalankan konstitusi dengan baik. Tugas DPR yakni pengawasan, legislasi dan budgeting tidak boleh tersandera kekuasaan.
Desmond menuturkan DPR akan menjadi sasaran pertama amarah masyarakat bila terjadi sesuatu yang negatif di Indonesia. Sebab, kontrol pemerintah berada di tangan parlemen.
"Parlemen lemah. Kalau disalahkan kan parlemen duluan karena tidak punya kontrol," tutur Desmond J Mahesa.
Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai sikap parlemen yang menyetujui program pemerintah merupakan konsekuensi dari keberhasilan Presiden Joko Widodo.
Presiden Jokowi melakukan konsolidasi dengan partai-partai politik yang beruju g mendapatkan dukungan yang kuat.
"Logis, ketika di pendukung (DPR) tidak mengritik," kata Anggota Komisi XI DPR itu.
Eva juga menduga situasi 'adem' di parlemen dalam menyikapi program pemerintah karena partai-partai politik sedang menghadapi persoalan intern. Apalagi, sulit mengkritik Presiden Jokowi dengan dukungan masyarakat sebanyak 60 persen.
"Energinya berat kedalam dari pada keluar," kata Eva Kusuma Sundari.
Pendapat Eva diamini Peneliti Formappi Lucius Karus yang menilai situasi internal parpol rawan konflik. Beberapa parpol selama setahunan terakhir terlibat dalam konflik yang melahirkan kepengurusan ganda.
"Ini membuat soliditas visi dan misi partai-partai sulit dikonsolidasikan di parlemen. Bagaimana mau melakukan pengawasan maksimal kepada pemerintah, jika di internal mereka saja masih belum bersatu?" tanya Lucius.
Persoalan itu, kata Lucius membuat partai politik menjadi mudah untuk dipengaruhi atau diintervensi. Dan kekuatan untuk itu ada di pemerintah.
Oleh karena itu pemilihan pimpinan partai-partai selalu dekat dengan dugaan intervensi pemerintah.
"Calon pimpinan yang didukung pemerintah umumnya akan bisa menang. Dan sebagai balasannya, partai-partai seolah-olah berada di bawah bayangan pemerintah," kata Lucius.
Sementara Eva Kusuma Sundari menilai dukungan kuat masyarakat kepada Presiden Jokowi membuat politikus menjadi kikuk.
"Kalau kita berhadapan dengan rakyat jadi tidak nyambung," kata Eva.
Eva juga melihat situasi politik di era Jokowi berbeda dengan SBY. Saat itu, geliat oposisi yang diwakili PDIP dan Gerindra menarik perhatian masyarakat.
"Rakyat tidak terlalu mendukung (SBY), tidak kayak Jokowi di internasional kuat. Sekarang partai-partai enggak berani dengan masyarakat," tutur Eva kepada Tribunnees.com.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini ikut berkomentar mengenai situasi parlemen. Ia mengingatkan salah satu tugas parlemen yakni mengawasi pemerintah.
"Tetapi bukan berarti semua langkah pemerintah harus dianggap salah. Konsekuensi partai berkoalisi dengan pemerintah ya harus mendukung kebijakan pemerintah," kata Jazuli Juwaini ketika dikonfirmasi Tribunnews.com.
PKS, kata Jazuli, sebagai partai oposisi juga bersikap objektif. Bila program pemerintah baik maka PKS akan mendukungnya.
Sebaliknya, PKS akan mengkritisi bila tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.
"Begitupun PKS berharap kepada fraksi-fraksi yang berkoalisi dengan pemerintah harus objektif jangan asal dukung. Kalau ternyata tidak pas ya harus berani mengkoreksi agar parlemen sebagai suatu lembaga bisa jelas peran dan fungsinya," kata Jazuli Juwaini.
Sedangkan, pengamat politik Hendri Satrio melihat keberhasilan Presiden Joko Widodo melakukan konsolidasi dengan partai-partai di parlemen tidak dimanfaatkan pemerintah. Padahal, parlemen sangat bersahabat dengan pemerintahan Jokowi-JK.
Hendri Satrio megungkapkan mayoritas semua program pemerintah tidak dipandang negatif parlemen.
"Tapi ini tidak berbanding lurus dengan Jokowi. Terlalu lamban padahal sudah didukung parlemen. Contoh Menteri Perdagangan yang baru belum bisa menurunkan harga pokok dan Mentan belum bisa menunjukkan program ketahanan pangan," kata Hendri Satrio kepada Tribunnews.com.
Hendri menuturkan Pemerintahan Jokowi masih memiliki waktu melakukan perbaikan yang kreatif dan inovatif.
"Kalau dikasih point dua tahun pemerintahan Jokowi ya skala 100, pemerintahan dapat skor 60-70. Jangan Nawacita jadi Tawacita yakni diketawakan," kata Hendri Satrio.