Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti mengatakan Siyono merupakan bagian dari kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI) dan dia terlibat dengan sejumlah aksi teror.
Atas polemik kematian Siyono, terlebih istri Siyono mengadu ke PP Muhammadiyah akhirnya Kapolri meminta Propam melakukan pengusutan.
Hasil dari pengusutan, Kadiv Propam Polri saat itu, Irjen M Iriawan menyebut ada kesalahan prosedur yang dilakukan Densus 88 yakni AKP H dan AKBP MT saat mengawal Siyono hingga tewas.
Kesalahan prosedur itu yakni karena Densus 88 tidak memborgol Siyono. Ditambah semestinya, petugas yang mengawal Siyono minimal dua orang yang menjaga di kanan kiri. Tapi saat itu yang menjaga hanya satu orang.
Kedua anggota Densus 88 akhirnya harus menjalani sidang etik, hasilnya mereka dinyatakan bersalah sehingga diharuskan menyatakan permohonan maaf atas kekeliruan mereka pada institusi Polri dan masyarakat.
Selain itu, mereka juga dimutasi ke satuan lain, tidak lagi berdinas di Densus 88.
Bom Bunuh Diri
Selesai kasus bom Thamrin dan tewasnya Siyono, beberapa hari jelang Idul Fitri tepatnya pada Selasa (5/7/2016) pukul 07.45 WIB terjadi serangan bom bunuh diri di halaman Mapolresta Solo, Jawa Tengah.
Pelaku serangan diketahui bernama Nur Rohman, yang tewas dalam peristiwa itu.
Nur Rohman bukanlah orang baru dalam jaringan teror.
Nur Rohman sebelumnya sempat kabur dan menjadi DPO ketika Densus 88 menangkap Abu Muzab alias Arif Hidayatullah di Bekasi pada 23 Desember 2015.
Arif terbukti menerima dana dan order melakukan aksi teror di Indonesia dari Bahrun Naim. Dana itu diterima melalui istri Arif.
Arif juga menyediakan tempat menginap untuk tiga orang yakni Ali, Nur Rohman dan Andika.
Ali yang adalah WNA Uighir yang disiapkan sebagai "calon pengantin" berhasil ditangkap. Sementara Andika dan Nur Rohman buron.
Saat itu peran Nur Rohman adalah membeli bahan pembuat bahan peledak dan membuatnya sebagai bom. Sedangkan Andika berperan membuat bahan peledak dan bom.