TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif mengatakan, kasus yang menjerat Bupati Klaten Sri Hartini baru pertama kalinya ditangani KPK.
Sri seolah melelang posisi pejabat daerah di Kabupaten Klaten bagi mereka yang bersedia membayar dengan harga tertentu.
Menurut Laode, menjual posisi strategis di pemerintah menimbulkan dampak buruk bagi pemerintahan nantinya.
Terutama bagi kepala daerah itu sendiri.
"Sebagai bupati atau siapa pun kalau menunjuk orang berdasarkan bayaran akan kehilangan moral authority untuk bawahannya karena hanya bayaran," ujar Syarif di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (31/12/2016).
Syarif mengatakan, kualitas pemerintah daerah pun jadi rendah karena orang-orang yang dipilih belum tentu kredibel di bidangnya.
Hal tersebut akan kontra dengan harapan menciptakan tata kelola yang lebih baik ke depan.
Ia pun mengingatkan Kementerian Dalam Negeri untuk meningkatkan pengawasan pada proses penempatan orang-orang dalam jabatan strategis.
"Kami imbau kepada Kemendagri untuk memperhatikan, memonitor, dan supervisi tentang proses penentuan jabatan-jabatan tersebut," kata Syarif.
Agar pejabat daerah kredibel dan berintegritas, maka perlu diadakan seleksi atau assessment untuk menempati posisi tertentu.
Dengan demikian, dari hasil seleksi akan menyaring orang yang tepat menduduki jabatan tersebut.
Syarif pun mengingatkan kembali rawannya politik dinasti untuk disisipi perilaku koruptif.
Sri Hartini dan wakilnya, Sri Mulyani, sama-sama punya suami yang pernah menjadi Bupati Klaten.
Berdasarkan pengalaman KPK terdahulu, kata Syarif, kasus yang melibatkan pimpinan daerah ini rentan dengan praktik korupsi.
"Kami mohon masyarakat memilih pemimpin daerah yang capable, bukan berdasarkan hubungan-hubungan yang sifatnya kekeluargaan," kata Syarif. (Kompas.com/Ambaranie Nadia Kemala Movanita)