TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Puluhan keluarga di sebuah kampung di Cilacap, Jawa Tengah, terusir dan kehilangan tanah akibat peristiwa 1965 karena dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pria yang memimpin pengusiran itu bernama Rubidi Mangun Sudarmo. Akibat perbuatannya, warga yang terusir menyimpan dendam selama puluhan tahun.
Setelah selang 45 tahun. Rubidi pun bertemu orang-orang yang menjadi korban pengusiran.
Seperti apa pertemuan itu dan mampukah mereka berdamai? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Salah satu korban bernama Karsiman, yaitu korban yang terusir dan kehilangan tanah keluarganya di Cikuya yang kini berada di Desa Bantarsari, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap.
Karsiman menyatakan tidak pernah melupakan nama Rubidi Mangun Sudarmo karena peristiwa yang menimpa Karsiman dan 70-an keluarga lainnya yang senasib pada November 1965.
“Ya saya gregetan. Pengin memukul. Nggak tanya saya, nggak mau tanya. Saya bertanya itu paling baru empat tahunan. Setelah dia menjabarkan pokok permasalahan kenapa mengusir warga Cikuya. Tadinya saya tidak mau tanya. Wong anaknya mau njago DPRD Cilacap, dan orang Cikuya disuruh mendukung, saya jawab. Maaf, kalau disuruh mendukung,” kata Karsiman.
Kala itu, mereka tengah mengelola lahan pertanian seluas 72 hektar di Kampung Cikuya.Tiba-tiba Rubidi beserta tentara memaksa agar puluhan keluarga Karsiman hengkang dari Cikuya.
Malahan, beberapa pria dewasa ditangkap dengan tudingan terlibat PKI. Beruntungnya, Karsiman yang saat itu berusia 15 Tahun tak ikut diboyong tentara.
Setelah 45 tahun dalam sebuah Organisasi Tani Lokal (OTL), nasib mempertemukan Rubidi dan Karsiman.
“Saya tahu, sudah tahu sejak awal. Bertahun-tahun saya sudah tahu. Baru sekarang ini nongol setelah ada kelompok tani. Baru ini, setelah ada Organisasi Tani Lokal (OTL) di tahun 2001. Pertama kalinya, saya bertemu dengan Rubidi. Setelah ada pemerataan tanah, dia baru nongol,” ungkap Karsiman.
Ternyata, tanah milik Rubidi di Tanah Trukahan Cipari seluas dua hektar juga dicaplok tentara.
“Korban. Saya pun terus diam. Soalnya situasinya kan lain. Ini sudah, perhitungan saya ini yang berkuasa militer. Sampai Soeharto berdiri itu kan juga militer. Perhitungan saya seperti itu. Sebab, yang disebut misterius itu kan akan mudah dipergunakan,” ujar Rubidi.
Rubidi lahir di Sambilgaluh, Kulonprogo 1933. Saat berusia dua tahun, ia bersama orangtuanya pindah ke Cipancur, Desa Bantarsari, Kecamatan Wanareja, Cilacap.
Beranjak dewasa, Rubidi termasuk pemuda yang cakap, pintar, dan cerdas. Karena itulah ia masuk Partai Nasional Indonesia (PNI) dan cukup disegani.
Tetapi dilema besar menghinggapinya kala ditunjuk Letnan Kolonel Arifin menjadi Wakil Komandan Pasukan Gabungan Operasi Penumpasan Gerombolan PKI di Kawasan Cilacap Barat.
Pasalnya, mertua dan istrinya adalah tokoh PKI dan Gerwani. Sementara ia sendiri adalah kader PNI yang loyal. Rubidi muda tak bisa menolak. Sebab nyawa taruhannya.
November 1965, ia dipilih menjadi Wakil Komandan yang memimpin warga sipil atau organisasi masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Ansor, Partai Nasional Indonesia (PNI). Para pasukan ini dipersenjatai.
Rubidi memiliki tugas utama mengusir warga yang berada dalam radius tapal kuda operasi yang berarti termasuk Kecamatan Cipari, Wanareja, Sidareja, Cimanggu dan Majenang.
“Tugas pokok, yang saya emban, adalah mengembalikan masyarakat kembali seperti semula. Artinya yang punya rumah ya kembali ke rumah, yang bertani ya kembali bekerja bertani. Makanya disebut sebagai operasi keamanan. Di luar itu, saya menolak kuat pun saya bisa. Tetapi itu bagian tugas saya. Makanya setelah kembali, dalam waktu tiga hari sudah kumpul. Tadinya, semua laki-laki tidak ada yang di rumah,” kata Rubidi, sembari menjelaskan dalam operasi militer tentu saja harus berlaku tegas.
Salah satu kampung yang jadi sasaran Rubidi, adalah Cikuya daerah yang diduga menjadi tempat persembunyian PKI.
“Cikuya, Pak Rubidi segera ke sana, nanti main liar. Betul, saya ke sana orangnya sudah ditembak. Pagi-pagi saya datang ke sana. Sarno, sudah dibawa keluar. Anak-anak Wanareja sudah ada di sana. Termasuk Kurdi, yang bersenjata, juga sudah di sana. Bahkan ketika saya ke sana, senjatanya ditodongkan ke kepala Sarno. Dibunyikan, duar. Saya kagetnya luar bisa, ‘Bangsat’, saya bilang kayak gitu. Itu ucapan ungkapan karena kaget luar biasa. Saya bilang ‘Lha ya untuk apa, itu kan hanya untuk nakut-nakutin orang,” tuturnya.
Sarno yang disebut itu adalah pentolan PKI. Sementara Kurdi, pasukan sipil bersenjata yang diperintah menangkapi anggota/simpatisan PKI. Rubidi juga menyebut, dirinya membujuk warga Cikuya untuk pergi dengan sukarela.
“Saya memang mengatakan seperti ini, ‘kalau sampeyan tetap ada di sini, ada pelarian dari sana-sana, sampeyan akan diancam. Tetapi kalau sampeyan rela (pergi), tidak menyembunyikan (pelarian), Sarno akan dibawa ke Majenang. Makanya sekarang gabung saja, ke sana’. Lalu Bru..ngg, semua pergi dari situ,” jelas Rubidi.
Tapi hal itu dimentahkan Adminem warga Cikuya yang terusir. Saat itu, ia diancam bakal ditembak jika tak pergi dari kampungnya.Suaminya, Rasmad bahkan dibawa tentara lantaran disangka anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) organsiasi yang berafiliasi dengan PKI.
“Tapi dipaksa, kalau tidak mau pergi, ditembak. Kalau tidak mau keluar, tidak mau pergi, ditembak. Semuanya bawa senjata. Pakai seragam polisi. Seragam coklat warnanya. (suami saya) Pak Rasmad, itu orangnya. Dia dihukum. Ya di sana (penjara). Waktu itu tidak ada di sana (Cikuya),” tutur Ratmini.
Adminem dan ke-empat anaknya lantas diangkut ke Majenang dengan truk.
“Saya dibawa pakai mobil ke Majenang. Pakai truk. Benar-benar seperti hewan. Perasaan saya sangat perih. Teringat ya teringat. Kadang teringat, kadang tidak. Mengingat itu kalau hati sedang tidak tenang. Tetapi saya berusaha berserah diri. Mudah-mudahan (tanah saya) bisa kembali lagi,” katanya, lirih.
Korban Rubidi lainnya, Sandiarja juga masih ingat dengan kekejaman Rubidi. Dendam pun tak terelakkan. Pasalnya, dirinya sempat dibui 13 bulan karena dituduh sebagai anggota BTI.Padahal, ia sama sekali tidak tahu apa itu BTI apalagi PKI.
“Ya tidak dendam lah. Kan sesama manusia. (kenapa tidak tanya?). Lha saya tidak kepingin. (kenapa tidak tanya?). Lha buat apa tanya, bertemu ya sudah. Paling saya membathin seperti ini, ‘Oh, ini orangnya’”. Sampai sekarang lah,” ujar Sandiarja.
Kini, Sandiarja, Rubidi, dan Karsiman, berada dalam perahu yang sama dan dengan tujuan yang sama pula, yaitu merebut tanah yang dicaplok negara. Dan dendam itu, perlahan lenyap seiring waktu. Kembali Sandiarja.
“Ya, saya sudah tidak mendendam. Kalau dari dulu sampai sekarang masih dendam terus kan nggak bener. Menurut saya tidak benar. Kita kan sesama manusia. Hidup di dunia itu hanya beberapa hari. Paling saya, ‘Oh, ini orangnya’. Yang sudah ya sudah,” tuturnya.
Sementara Karsiman, telah memaafkan Rubidi. Nasib sepenanggunggan, jadi alasan ia menerima Rubidi.
“Ya, karena bagaima kita perasaan sebagai sesama manusia lah. Sudah seperti ini terjadinya, ya bagaimana lagi. Ya tidak dendam lah. Apalagi sekarang dia sudah menjadi kawan seperjuangan. Dia mendukung kelompok Sumber Tani sih. Dia kan ikut kelompok sana. Kemudian, dia juga bisa menjabarkan kronologi persoalan yang ada di wilayah sana. Berarti ya masih satu ide.”
Sedangkan Rubidi, bakal menyerahkan hidupnya untuk membela warga Cikuya yang telah dirampas hartanya.
“Tanah dibuka oleh masyarakat. Menurut hukum. Itu berlaku di seluruh dunia bahkan, tidak hanya di Indonesia. Kalau di Sumatera, itu yang disebut sebagai tanah ulayat. Kan itu, dasarnya hingga sekarang kan tidak tersentuh hukum. Ini kan harus bayar. Itu tidak sesuai,” jelas Rubidi.
Penulis: Muhamad Ridlo/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)