TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setelah Brasil dan Kongo, Indonesia merupakan negara ketiga di dunia yang memiliki hutan hujan tropis terluas.
Sayangnya, tingkat kehancuran hutan di Indonesia merupakan tercepat diantara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa hutan di dunia.
Melihat kondisi ini, seorang pendongeng, Syamsudin, berkeliling daerah menceritakan kisah para pemilik hutan yang murka karena rumahnya dirusak perusahaan.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Suatu hari, seorang anak Rimba mencari ibunya yang ditangkap perusahaan kebun sawit. Pasalnya sang ibu dituduh merusak lahan mereka. Dan tanpa sengaja, di tengah perjalanan, bocah itu bertemu Orangutan yang hidup sebatang kara.
Pertemuan tersebut, berlanjut menjadi pertemanan. Keduanya, saling berbagi cerita tentang nasib masing-masing. Namun tiba-tiba, Orangutan itu menjerit. Usut punya usut, rupanya dia kelaparan tiga hari tak makan.
Dalam obrolan keduanya, tahulah si anak Rimba kalau teman barunya itu kesal dengan manusia yang membabat rumahnya; hutan menjadi kebun sawit. Alhasil, ia kesusahan mencari makan.
Sementara si anak Rimba, murka atas apa yang menimpa ibunya. Sebab, kaumnya harus terusir dari hutan yang juga menjadi tempat tinggalnya lantaran berubah jadi kebun sawit.
Cerita anak Rimba dan Orangutan ini dikisahkan Syamsudin di Taman Lingkar Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok.
Bermodalkan wayang berbahan kardus, ia lantang mengkampanyekan perlindungan hewan yang terancam punah, seperti Badak, Harimau, dan Orangutan.
Dan, demi tujuan itu, pria yang akrab disapa Pak Syam ini, kerap berpindah-pindah daerah dengan berjalan kaki atau menggowes sepeda tuanya. Ditemui usai mentas, dia bercerita apa pentingnya menjaga alam.
“Nilai penting dari cerita di atas adalah habitat binatang di hutan tidak boleh diabaikan. Contohnya, hutan memproduksi oksigen dan lain sebagainya yang dibutuhkan manusia. Binatang mempunyai hak hidup, mereka tidak boleh dikerangkeng di tempat yang tidak semestinya kalau hewan liar ya seharusnya hidup di hutan. Dengan begitu, anak-anak tahu bahwa kita mempunyai banyak kekayaan mulai dari binatang sampai tumbuhan, “kata Pak Syam.
Pak Syam, sudah mulai mendongeng fabel sejak April tahun lalu, pada sejumlah daerah,bahkan telah menjajaki di tiga pulau besar, antara lain Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Di sana, ia mengemas dongeng sesuai kearifan lokal masing-masing daerah. Namun pesan yang disampaikan tetap sama.
“Saya melihat banyak orang yang kemudian melupakan budaya mendongeng. Kita juga melihat anak-anak kehilangan kedekatan pada budaya-budaya sendiri, seperti boneka wayang atau kesenian lain yang menjadi budaya setempat. Sebelumnya, saya sudah pernah membuat wayang berbentuk ikan untuk merangsang anak berimajinasi dan mengembangkan diri. Saya prihatin pada kondisi sekolah yang jarang memberi ruang anak untuk berekspresi,”ujarnya.
Nyatanya, tak semua orang yang mendengar dongengnya memiliki kesadaran dan kepedulian, sehingga Ia pun mencari celah menyesuaikan cerita sesuai usia.
“Tantangan terberatnya karena banyak orang tidak peduli, karena itu perlu cara mengemas kampanye semenarik mungkin supaya orang yang tadinya tidak peduli bisa menjadi peduli. Perlu banyak strategi melakukannya, misalnya cerita yang penontonnya mahasiswa dan anak kecil akan dibedakan. Kalau dongengnya ke anak kecil, saya nggak mungkin cerita yang berat karena nggak akan nyambung ke pemikiran mereka, “kata Pak Syam.
Lantas, seperti apa respon bocah-bocah menyimak dongeng fabel yang disampaikan Pak Syam?
“Responnya beragam, ada yang males-malesan, antusias, rame dan luapan ekspresi lainnya. Karena bentuk dongeng yang interaktif, pendongeng tidak dibatasi. Penonton merupakan bagian dari dongeng juga. Saya bisa ajak anak bergerak, memancing mereka berbicara, dan menyampaikan pesan tentang lingkungan. Selain itu, ini juga untuk mengasah mental anak-anak juga, “kata Pak Syam.
Zulfi, mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia, mengaku termotivasi mengkampanyekan konservasi alam setelah menyaksikan dongeng Pak Syam. Dan ia ingin melakoni hal serupa.
“Ini adalah gerakan konservasi yang mudah diterima masyarakat. Dengan bercerita, kita bisa kenal cara berdamai dengan alam serta bajuk dan hewan-hewan di dalamnya. Selain itu, hal ini bisa memotivasi bahwa konservasi sama pentingnya dengan hal-hal lain. Meski dibawa dengan iman, tetapi konservasi adalah langkah manusia berteman dengan alam,” kata Zulfi.
Dalam beberapa waktu ke depan, Pak Syam bakal menyambangi beberapa kawasan di Jabodetabek. Niatnya ingin membangun jaringan dengan berbagai komunitas sehingga lahirlah agen-agen penggerak yang memiliki satu pemikiran.
“Sepulang dari Kalimantan dan melihat kondisi di sana saya mengevaluasi lalu putuskan bergerak lebih dulu di jakarta dan sekitar Jabodetabek untuk ke depannya. Harapannya, kegiatan ini juga mendapat dukungan termasuk dari media. Setelah kegiatan jalan kaki Indramayu-UI kemaren, saya sudah membuat satu titik di kecamatan Losara, di Cikampek juga bikin satu titik, tadi sebelum ke sini bikin di sunter,” kata Pak Syam.
Harapan lebih besar, masih ia pupuk. Setidaknya, langkah mendongeng fabel ini bisa memengaruhi pemerintah membuat kebijakan untuk melindungi alam.
“Harapannya semoga kelestarian hutan di Indonesia yang sudah banyak dialihfungsikan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kelestarian lingkungan bisa segera diperbaiki. Hutan-hutan yang rusak juga bisa diperbaiki. Masyarakat yang ada dipenyangga hutan dan juga kota saar bahwa hutan itu penting bagi kita. Serta kita juga sadar bahwa hewan pun mempunyai hak hidup,” harap Pak Syam.
Penulis : Gilang Ramadhan/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)