TRIBUNNEWS.COM - Pondok Pesantren masih dianggap sebagai belenggu kebebasan perempuan.
Ini karena pesantren memperlakuan perempuan sebagai makhluk yang harus taat dan tunduk pada aturan-aturan yang dibuat para ulama pria.
Tapi, di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Joglo-Bangsri Jepara, berbeda. Pemimpinnya Hindun Anisa mendobrak tatanan lama. Seperti apa?
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Sedari subuh, ratusan santri perempuan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Joglo-Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, tengah melantunkan ayat Alquran.
Ini jadi penanda dimulainya kegiatan di pesantren, hari itu.
Sama seperti pesantren lainnya, pesantren Hasyim Asy’ari mengajarkan fiqih, hadist, dan kitab-kitab lain.
Tapi bedanya, sejak awal berdiri, pesantren berbentuk joglo kuno ini menerapkan kurikulum berbasis kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan dan anak.
Kadang, pihak pesantren juga mengundang aktivis perempuan untuk berbicara di hadapan para santri.
Sementara para santri, dibebaskan memilih kajian dan kitab agama apapun. Mereka pun didorong mengikuti seminar tentang anak dan perempuan, sastra, plus politik.
Adalah Hindun Anisa, pemimpin pesantren sekaligus pelopornya.
Ia menerapkan kurikulum berbasis gender sejak tahun 2000, tepatnya pasca dirinya memegang penuh kepemimpinan pesantren.
Beruntung karena sang suami, Nuruddin Amin yang merupakan ulama dan mantan jurnalis, ikut mendukung ide istrinya.
“Pertama saya lulusan pesantren. Jadi saya merasa dulu di pesantren saya bisa dikatakan sedikit lebih baik dari sisi bias gender. Kesetraan gender, lumayan. Tapi meski begitu merasa ada diskriminasi dari sisi kitab-kitab yang kita kaji. Kitab yang dikaji santri putra secara hirarki lebih tinggi dibanding santri perempuan,” ungkap Hindun.
Ibu lima anak ini memutuskan menerapkan kajian gender karena melihat pengalamannya di masa lalu.
Perempuan tak dibolehkan mengajar, itu merujuk pada pendapat ulama, yang meskipun tak semua ulama setuju.
Dan kekeliruan itu, kata ibu lima anak ini, disebabkan pemahaman yang ngawur terhadap fiqih. Sialnya pula, hal tersebut diwariskan hingga sekarang.
“Ketika fikih jadi mainstream. Sehingga ada pendapat suara perempuan aurat, tubuh perempuan fitnah. Sebenarnya itu pendapat-pendapat. Fikih jadi mainstraim, lupakan sejarah nabi. Latar belakang. Konteks ketika fikih dibuat seperti apa, usul fikih itu metode. Fikih kan produk, produk itu dihasilkan oleh apa? Metodenya karena apa? Kita hanya melihat fikih dan itu sebagai kitab sucinya. Ini membuat distorsi,” kata Hindun.
Tak ingin terulang, di pesantrennya, perempuan dan laki-laki diperlakukan sama.
“Ketika aliyah, pindah pesantren tidak ada pembedaan. Dari kitab yang dikaji. Tapi sisi lain laki-laki yang ngajar harus laki-laki, perempuan bisa laki bisa perempuan. Padahal banyak juga perempuan berpotensi justru eman-eman. Pesantren pertama guru perempuan bisa ngajar laki-laki. Yang kedua tidak bisa,” ungkap Hindun.
Dan di pesantrennya, Hindun menelurkan aturan; bahwa santri putra dan putri mendapat akses yang sama di segala bidang. Bahkan aturan untuk keluar pondok pun, tidak akan dibeda-bedakan.
Di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari ini juga ada Pers Pesantren, Majalah Suara Hasyim Asy’ari untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah/SLTP dan Majalah Koma untuk tingkat Madrasah Aliyah/SLTA. Keduanya terbit sejak 2005 silam.
Zahrotul Ulya, pimpinan redaksi Majalah Suara Hasyim Asy’ari bercerita, kegiatan jurnalistik semacam ini membentuk karakter serta pola pikirnya.
Berikut percakapan antara Zahrotul dan KBR.
Zahrotul: Berani itu pasti, saya punya mental kaya gini karena saya jurnalis. Jurnalis kan kemana-mana motret dan ngeliput berani ke depan banyak orang. Jurnalis dilatih mental.
KBR: Kamu sudah wawancara siapa saja?
Zahrotul: Bu Haris, senior di Suara Merdeka. Sama Pak Taufik Dosen psikolog. Banyak sekali. Sudah pernah wawancara Dian Sastro, Hanung. Seneng banget, sudah pengalaman kan tidak semua orang bisa.
Sementara itu, Aulida Lila, reporter Majalah Koma ini mengatakan, adanya pers pesantren ini membangkitkan kreatifitasnya.
“Lewat jurnalistik, kita wanita harus kreatif bidang apapun, menulis, jurnalistik itu. Kreatiftas berfikirnya panjang. Dibebaskan tugas wawancara ke jepara, malam atau pagi, kalau benar eksul yang kita butuhkan,” ungkap Aulida.
Sedang bagi Mustofa, salah satu orangtua santri mengaku bangga memasukkan anaknya ke Pesantren Hasyim Asy’ari.
“Emansipasi wanita itu perlu, jadi wanita perlu menghadapi ini jadi ketika sudah bermasyarakat tahu hal-hal meski ada batasan yang harus mereka dipegang. Perlu ada kreativitas anak atau santri putri, perlu ada wawasan yang tak seperti dulu. Dan wanita boleh berkerasi, zaman nabi kan dulu begitu,” kara Mustofa.
Hindun Anisa berharap dari pesantrennya lahir santri-santri putri yang andal di berbagai bidang namun tetap dilandasi pengetahuan agama yang berpegang pada kesetaraan gender.
Penulis: Shinta Ardhany/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)