Pengecekan fakta menunjukkan 81 persen hal-hal terkait Trump adalah hoax, tetapi nyatanya Trump terpilih jadi presiden Amerika Serikat.
Netizen muda, Tsamara Amany, menengarai rendahnya literasi masyarakat Indonesia sebagai salah satu biang maraknya hoax. Selain itu publik cenderung percaya bukan pada isi pesan, tetapi siapa yang menyampaikan.
“Cara mengatasi hoax sebaiknya dari kalangan anak muda, kita dorong daya kritis dan veirifkasi sebelum menyebarkan sebuah konten” lanjut Tsamara yang juga aktif bergiat di Universitas Paramadina.
Penulis dan pengamat sosial Geger Riyanto melihat persoalan struktural terkait penggunaan media sosial yang memungkinkan beredarnya hoax.
“Sebelum adanya media sosial, laman-laman Islam garis keras tidak punya akses langsung meraih audiens, media sosial memungkinkannya,” kata Geger.
Sementara persoalan lain terkait Algoritma media sosial membuat konten-konten hoax yang diproduksi naik dan cepat tersebar menuju terget dan segmen tertentu berdasarkan kebiasaan online setiap user.
Menanggapi diskusi, pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Andy Budiman mengkritik media-media arus utama yang tidak bekerja dengan baik sehingga kredibilitasnya mudah dipatahkan oleh kehadiran media abal-abal yang tidak memiliki mekanisme redaksional, contoh yang paling konkrit di Amerika Serikat dan Eropa, hoax tentang senjata pemusnah massal di Irak.
“Orang lebih percaya kepada kelompok-kelompok dan elit agama, karena seiman, tinggal klik dan sebarkan, jangan berhenti di kamu,” lanjut Andy.
Hal tersebut diamini Ade, yang melihat berkurangnya sumber otoritas untuk rujukan. Lahirnya beragam sumber kebenaran memang terkesan demokratis, tetapi terjadi chaos karena publik tidak kritis dalam seleksi dan verifikasi, sehingga andalannya adalah jejaring perkawanan digital.
“Kelompok intoleran menyebar hoax lalu menyebar terutama di kalangan mereka sendiri, kadang memang bukan kita sasarannya,” terang Ade.
Baik Ade, Tsamara maupun Geger sepakat soal Negara tidak perlu terlalu jauh melakukan intervensi sampai ke pembredelan dan blokir.
“Tetapi Ade mengingatkan bahwa kehadiran media sosial merupakan anugerah terbesar bagi demokrasi. Tidak pernah ada masa ketika warga negara bebas bicara seperti sekarang.
“Peran kita dalam melawan hoax karena kita ingin tetap rasional, kalau berharap korban hoax bakal kritis agak sulit dalam tradisi pendidikan kita yang tidak dibiasakan beragam,” pungkas Ade.
Reinhardt Sirait, seorang penanggap mengingatkan “bahwa ruang internet adalah pertarungan, dulu diisi oleh aktor-aktor pro-demokrasi, saat ini kelompok intoleran mendominasi ruang itu. Kita harus melacak sesuatu yang lebih besar dari sekedar keisengan.