TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fenomena hoax menjadi keprihatinan banyak pihak, tidak terkecuali Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
“Cara melawan hoax adalah dengan membanjiri internet dengan informasi yang benar,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSI Raja Juli Antoni, membuka diskusi dan peluncuran laman STOPHOAX.PSI.ID, Kamis (26/1/2017) di basecamp DPP PSI, Jakarta.
Dalam kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), survei SMRC mengungkap sebanyak 88 persen masyarakat yakin Ahok menistakan agama, tetapi tidak pernah menonton video aslinya.
“Hanya percaya ‘katanya’, beredar dari grup-grup Whatsapp, Facebook dan sebagainya,” lanjut Toni.
Melalui laman Stop Hoax, informasi yang diduga hoax diverifikasi kebenarannya. Disertai pula video, menyajikan hoax seperti kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) demi mengusir pribumi dan kristenisasi di PAUD rumah susun.
"Kedepan Stop Hoax akan mengeksplorasi isu-isu lain, bukan hanya Ahok. PSI akan fokus pada konten video, sebab tren konten internet yang lebih
banyak ditonton adalah video termasuk yang masuk ketegori hoax” kata Endika Wijaya, Manajer IT DPP PSI yang membawahi Stop Hoax.
Bertindak sebagai moderator, Direktur INTRANS Andi Saiful Haq mengapresiasi inisiatif PSI sebagai partai politik untuk turut serta melawan hoax.
“Di sisi lain, kita tidak perlu kembali ke era pembredelan media dengan melakukan pemblokiran.” kata Saiful, menanggapi rencana Dewan Pers menerapkan barcode terhadap media-media online.
“Konten hoax adalah fenomena kampanye hitam yang sudah lama dikenal didunia poilitik, lalu menjadi massif karena didukung oleh akses internet yang semakin murah dan cepat serta teknologi informasi yang semakin canggih dan terjangkau secara ekonomi.”
“Hoax merupakan kebohongan yang dirancang sengaja untuk disamarkan sebagai kebenaran,” kata Ade Armando, pakar komunikasi Universitas Indonesia, meluruskan definisi hoax.
Ade menyindir rekan sealmamaternya pakar filsafat Rocky Gerung yang mengatakan bahwa hoax terbaik adalah buatan penguasa.
Dalam kasus buku Jokowi Undercover, Rocky menuduh Jokowi menyebar hoax dengan mengatakan buku tersebut tidak ilmiah.
“Jokowi bisa saja bertanya kepada orang-orang pintar di sekelilingnya, jangan gara-gara pertarungan politik kita jadi kehilangan akal sehat,” lanjut Ade, yang kini menyandang status tersangka terkait statusnya di akun Facebooknya tahun 2015 silam.
Dalam konteks global, wacana tentang hoax tidak bisa dilepaskan dari Donald Trump. “Hoax dibuat rumit, muncul istilah post-truth, atau belakangan alternative facts,” jelas Ade.
Pengecekan fakta menunjukkan 81 persen hal-hal terkait Trump adalah hoax, tetapi nyatanya Trump terpilih jadi presiden Amerika Serikat.
Netizen muda, Tsamara Amany, menengarai rendahnya literasi masyarakat Indonesia sebagai salah satu biang maraknya hoax. Selain itu publik cenderung percaya bukan pada isi pesan, tetapi siapa yang menyampaikan.
“Cara mengatasi hoax sebaiknya dari kalangan anak muda, kita dorong daya kritis dan veirifkasi sebelum menyebarkan sebuah konten” lanjut Tsamara yang juga aktif bergiat di Universitas Paramadina.
Penulis dan pengamat sosial Geger Riyanto melihat persoalan struktural terkait penggunaan media sosial yang memungkinkan beredarnya hoax.
“Sebelum adanya media sosial, laman-laman Islam garis keras tidak punya akses langsung meraih audiens, media sosial memungkinkannya,” kata Geger.
Sementara persoalan lain terkait Algoritma media sosial membuat konten-konten hoax yang diproduksi naik dan cepat tersebar menuju terget dan segmen tertentu berdasarkan kebiasaan online setiap user.
Menanggapi diskusi, pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Andy Budiman mengkritik media-media arus utama yang tidak bekerja dengan baik sehingga kredibilitasnya mudah dipatahkan oleh kehadiran media abal-abal yang tidak memiliki mekanisme redaksional, contoh yang paling konkrit di Amerika Serikat dan Eropa, hoax tentang senjata pemusnah massal di Irak.
“Orang lebih percaya kepada kelompok-kelompok dan elit agama, karena seiman, tinggal klik dan sebarkan, jangan berhenti di kamu,” lanjut Andy.
Hal tersebut diamini Ade, yang melihat berkurangnya sumber otoritas untuk rujukan. Lahirnya beragam sumber kebenaran memang terkesan demokratis, tetapi terjadi chaos karena publik tidak kritis dalam seleksi dan verifikasi, sehingga andalannya adalah jejaring perkawanan digital.
“Kelompok intoleran menyebar hoax lalu menyebar terutama di kalangan mereka sendiri, kadang memang bukan kita sasarannya,” terang Ade.
Baik Ade, Tsamara maupun Geger sepakat soal Negara tidak perlu terlalu jauh melakukan intervensi sampai ke pembredelan dan blokir.
“Tetapi Ade mengingatkan bahwa kehadiran media sosial merupakan anugerah terbesar bagi demokrasi. Tidak pernah ada masa ketika warga negara bebas bicara seperti sekarang.
“Peran kita dalam melawan hoax karena kita ingin tetap rasional, kalau berharap korban hoax bakal kritis agak sulit dalam tradisi pendidikan kita yang tidak dibiasakan beragam,” pungkas Ade.
Reinhardt Sirait, seorang penanggap mengingatkan “bahwa ruang internet adalah pertarungan, dulu diisi oleh aktor-aktor pro-demokrasi, saat ini kelompok intoleran mendominasi ruang itu. Kita harus melacak sesuatu yang lebih besar dari sekedar keisengan.
” Sebagai penutup, Andi Saiful Haq menyimpulkan bahwa “Keramaian publik jangan diintervensi dengan jalan yang tidak demokratis, negara harus secara hati-hati mengurangi efek destruktif dari fenomena ini. Militer tidak boleh terlibat meskli dengan dalih proxy war yang belakangan ini berkembang dan mendistorsi proses sosial politik.”
Sebagai kesimpulan diskusi “Hoax berkembang dalam masyarakat yang dikurung oleh ketakutan-ketakutan yang dipelihara karena problem sosial yang tidak diselesaikan oleh rejim yang lalu, karenanya perlu untuk segera dilakukan upaya rekonsiliasi, resolusi demi kepentingan membangun narasi besar baru bangsa Indonesia ke depan, kurikulum pendidikan adalah sumbu utama dalam membangun narasi baru bangsa Indonesia, ini tugas utama rejim sekarang.” Diskusi publik PSI ini ditutup dengan foto bersama.