TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi kembali menggelar aksi di area hari bebas kendaraan, Jakarta, tepatnya disamping Bunderan Hotel Indonesia.
Samsul Arifin, Koordinator aksi menjelaskan tiga tujuan aksi ini. Pertama, meningkatkan kewaspadaan kita terhadap hoax dan fitnah, utamanya jelang Pilkada Serentak 2017, yang diadakan di 101 daerah di Indonesia (7 Provinsi, 18 Kota, 76 Kab). Walau sesungguhnya larangan hoax dan fitnah bukan hanya saat pilkada, namun selamanya.
Kedua, meningkatkan kreatifitas kita dalam melawan hoax dan fitnah, sebab hoax dan fitnah juga semakin kreatif. Ketiga, meningkatkan gotongroyong masyarakat.
Misalnya ada informasi kesehatan bohong yang beredar, maka yang kuliah di bidang kesehatan harus cepat meluruskannya, dan kita bisa membantu menyebarkannya. Intinya, kita semua bisa terlibat dalam menyehatkan informasi, sehingga kita semua tidak sakit.
Aksi ini dimulai pukul 06.30 hingga 09.30 pagi, panitia membentangkan spanduk ukuran 7 Meter x 6 Meter. Tertulis besar di spanduk itu; Hidup Tanpa Hoax Dan Fitnah; Kolaborasi Pengguna Media Sosial untuk Kepentingan Nasional. Seribuan warga kemudian mendantanganinya. Aksi juga dimeriahkan oleh penampilan Flash Mop dari Teater Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria menjelaskan, komitmen anti hoax dan fitnah harus disertai semangat memproduksi konten yang benar dan bermanfaat.
Masyarakat, utamanya pelajar dan mahasiswa harus didorong jadi produsen konten sesuai minat dan bakatnya. Pemerintah pusat/daerah, kementerian/lembaga, organisasi swasta, dll harus memperbanyak lomba-lomba yang mengajak pelaja dan mahasiswa memproduksi konten
“Pelajar dan mahasiswa harus jadi pembuat konten, bukan semata penyebar konten, mereka harus jadi generasi upload, bukan semata generasi download. Saya usul, agar pelajar yang produktif memproduksi dan mengupload konten positif, inspiratif, kritik membangun di internet diberikan hadiah”, ujar Hariqo Wibawa Satria di area Car Free Day, Jakarta (29/01/17)
Apresiasi bagi pelajar penting, tambah Hariqo Wibawa, “Jika ada pelajar kita yang dalam setahun membuat 20 tulisan tentang pariwisata, kuliner, produk lokal daerahnya, lalu menguploadnya di internet, maka pelajar itu adalah diplomat era digital yang sesungguhnya, dan ia pantas mendapatkan penghargaan seperti pahlawan, saya sudah sampaikan ini kepada Ketua Umum PGRI, Ibu Unifah Rosyidi saat sama-sama jadi narasumber diskusi di Gedung Dewan Pers”, jelas pria asal Bukittinggi ini.
Hariqo menambahkan, solusi lain melawan hoax dan fitnah adalah, memanggil semua pengusaha medsos dan menagih komitmennya menghapus berita hoax dan fitnah.
“hoax dan fitnah bisa dideteksi dengan teknologi, tapi ini tidak akan akurat 100 persen, karenanya manual juga harus dilakukan. Jadi saran saya, mereka para pengusaha twitter, facebook, Instagram, google, dll harus menambah SDM di kantornya masing-masing untuk menghadapi hoax dan fitnah, teknologi oke, tapi pemantauan manual tetap harus dilakukan”, jelas Hariqo.
Selain itu, menurut Hariqo Wibawa, untuk menghadapi hoax dan fitnah, maka term of use saat seseorang membuat akun medsos harus diubah dalam format tanya jawab.
Contoh, 'jika kami memberikan akun Twitter ini, Anda berjanji tidak melakukan fitnah?'. Intinya Pemerintah harus memaksa pemilik Twitter, Facebook, Instagram dan Google untuk 'mempersulit' seseorang mendapatkan akun medsos.
“Pemerintah sebaiknya melakukan negosiasi maksimal dengan pengusaha-pengusaha medsos ini. Jangan sampai pengusaha-pengusaha medsos untung besar, sementara bangsa kita kelihatannya untung karena dikasih gratis, padahal rugi besar”, tegas Hariqo.
Hariqo menambahkan, kunci melawan hoax adalah partisipasi aktif dan kolaborasi, jika saling mengandalkan, kita akan kalah melawan hoax.
Oleh karena itu partisipasi adalah kuncinya, baik partisipasi dari pengusaha medsos, media massa dan partisipasi dari masyarakat. Kota cerdas (smart city) itu tidak dinilai dari apa merek telepon genggam warganya, tapi kota cerdas itu dilihat dari partisipasi apa yang bisa dilakukan warganya lewat teknologi.