TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM harus merombak pelayanan imigrasi di Malaysia.
Demikian disampaikan Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri kepada Tribunnews.com, Rabu (8/2/2017).
Hal ini dimaksudkan ICW menanggapi prestasi KPK menetapkan Atase Imigrasi Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Malaysia, Dwi Widodo, sebagai tersangka kasus penerimaan suap.
Uang haram itu diduga diterima Dwi terkait pembuatan paspor dan calling visa di Kedubes RI di Malaysia.
"Kemenlu dan Kemenkumham harus rombak pelayanan imigrasi di Malaysia. Hal ini mengingat penetapan tersangka DW dalam penerimaan fee atas pengurusan paspor dan visa TKI di Indonesia," ujar Febri Hendri kepada Tribunnews.com.
Karena menurut ICW, DW ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK membuktikan pelayanan imigrasi Kedutaan Indonesia di Malaysia masih rawan korupsi.
"Dengan demikian ini berdampak terhadap kesejahteraan TKI dan keluarganya," tegas Febri Hendri.
KPK menetapkan Atase Imigrasi pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Dwi Widodo sebagai tersangka kasus suap.
Dwi yang merupakan pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) diduga menerima suap yang jumlahnya mencapai Rp 1 miliar.
"Berdasarkan pengembangan penyelidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup terkait suap dalam pengurusan paspor dan visa dan meningkatkan ke tahap penyidikan," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (7/2/2017).
Menurut Febri, suap yang diduga diterima Dwi terkait dengan proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out di tahun 2016 dan proses penerbitan calling visa pada periode 2013-2016 di KBRI Kuala Lumpur.
Dalam kasus ini, Dwi diduga meminta pihak perusahaan sebagai agen atau makelar pengurusan paspor dan visa bagi tenaga kerja asal Indonesia di Malaysia.
Para TKI yang paspornya rusak atau hilang, dibantu untuk mengurus yang baru.
Namun, dalam pengurusan administrasi tersebut, pihak perusahaan dan Dwi diduga melakukan pemungutan uang yang jumlahnya jauh lebih tinggi dari tarif yang sebenarnya.
Atas hal tersebut, Dwi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Febri, penyelidikan ini merupakan kerja sama antara KPK dan Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC). Perkara ini diselidiki secara bersama sejak pertengahan tahun 2016.
"Saat ini MACC atau KPK sedang melakukan penyidikan dalam perkara tersebut. MACC tangani perusahaan dan orang-orang yang sebagian ada WNI. Sementara, KPK melakukan proses hukum DW," kata Febri.