TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta membuka secara transparan pembelian Helicopter AgustaWestland 101 yang dilakukan TNI Angkatan Udara.
Keterbukaan pemerintah diyakini bisa menghentikan polemik.
Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan polemik pembelian satu buah Helicopter Aagusta Westland 101 yang dilakukan oleh TNI AU, bermula dari ketidaksetujuan Panglima TNI Gatot Nurmantyo atas munculnya Permenhan 28 Tahun 2015 dimana kewenangan panglima TNI sudah tidak ada lagi.
"Untuk itu, atas polemik ini, diminta untuk segera disikapi secara terbuka ke publik kepada Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri pertahanan. Sikap atau penegasan secara terbuka oleh Ryamizard Ryacudu yang lebih detail atau terperinci saat ini sangat dibutuhkan publik karena di Kemhan itu, yang namanya keterbukaan itu sangat mahal sekali," kata Uchok kepada wartawan di Jakarta, Senin (20/2/2017).
Menurutnya, ada dua isu krusial yang harus dijelaskan ke publik, yakni Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu disebut sudah menandatangani pembelian delapan Helikopter AgustaWestland 101.
Kedua, dalam konteks proses pengadaan atau pembelian helikopter AW 101 ini tidak melibatkan Kemhan sama sekali karena semua prosesnya dilaksanakan TNI AU dan pertimbangan internal serta tanpa memperhatikan hal-hal terkait dengan ketentuan pengadaan, kebijakan presiden, surat Menseskab nomor B.230/seskab/polhukam/4/2016 tentang Prioritas Penggunaan Produk dalam Negeri.
"Adanya dua opini ini yang saling berbenturan membuat publik bingung atas kebijakan pembelian helikopter ini. Untuk itu, sekali lagi, kami minta kepada Kemhan untuk ada keterbukaan ke publik lantaran yang namanya keterbukaan di Kemhan, atau institusi Panglima TNI, UO (unit organisasi) militer lainnya harganya sangat mahal sekali," jelas Uchok.
Dijelaskan bahwa yang ketehui oleh publik, sesuai peraturan, seperti UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional semua perencanaan dan anggaran untuk pembelian alusista adalah domain atau tanggungjawab Kemhan, bukan Panglima TNI.
"Jadi menteri pertahanan harus bicara sekarang juga," tukasnya.
Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW) 101 sudah sesuai dengan prosedur.
"Ya, kalau di dalam perencanaannya itu yang jelas jakstra (kebijakan dan strategi) ada di Kementerian Pertahanan. Sehingga Kepala Staf sudah berkirim surat ke kemenhan untuk proses sampai dengan kontrak. Jadi semuanya sudah dipenuhi administrasinya," katanya.
Ia mengatakan, pengadaan helikopter memang dibutuhkan bagi TNI Angkatan Udara mengingat helikopter angkut yang memiliki kemampuan SAR ada masih kurang.
"Kita memiliki tujuh spot, yakni Iswahyudi (Madiun); Malang, Makassar, Pekanbaru, dan Pontianak ditambah spot-spot yang lain, seperti latihan Cakra di Medan dan Halim. Berarti tujuh pesawat harus berada di luar. Sedangkan saat ini kondisinya ada Lanud yang melakukan SAR dengan menggunakan helikopter Colibri. Ini tidak mungkin dan tidak memenuhi syarat, sehinga KSAU yang lama (Marsekal Purn Agus Supriatna) berpikir kebutuhan mendesak akan heli angkut pasukan harus diadakan," kata Hadi.
Sehingga, lanjut dia, pembelian helikopter berubah dari heli VVIP ke heli angkut yang memiliki kemampuan SAR.
"Itu pun masih beralasan karena dalam postur TNI, kita membutuhkan empat skuadron heli angkut," katanya.