TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI Ahmad M Ali, meminta semua pihak menahan diri terkait dengan kisruh Freeport yang menolak perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK.
Hal ini, sebagai implikasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2017. PP No 1 2017 mewajibkan pemilik kontrak karya menciutkan lahan dan batas waktu serta kewajiban divestasi saham 51 persen dalam jangka waktu 10 tahun.
"Saya berharap semua pihak agar menahan diri dan tidak emosional. Tetap menjaga dan memperhatikan kepentingan nasional agar tidak bertindak gegabah mengambil keputusan," kata Ahmad Ali, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (23/2/2017).
Menurutnya, tuntutan PP No1 antara lain divestasi saham 51 persen pada perusahaan Freeport sebagai implikasi dari perubahan kontrak karya menjadi IUPK perlu diapresiasi dengan berbagai pertimbangan.
Apalagi, niatan itu disertai dengan reaksi keras dari pihak Freeport. Perusahaan Amerika Serikat itu, tetap bertahan dengan Kontrak karya. Sebaliknya, mengancam akan membawa masalah ini pada arbitrase internasional.
Untuk itu, dia berharap, baik pemerintah dan Freeport bisa duduk bersama, berdialog mencari solusi terbaik masalah ini yang dapat memberi manfaat positif bagi kedua belah pihak.
"Baik pemerintah dan Freeport, keduanya harus bisa saling menahan diri dan mendiskusikan solusi yang terbaik," katanya.
Ali menilai, jika kisruh berkepanjangan akibat penerbitan PP No 1 tahun 2017 ini memiliki konsekuensi logis pada kedua belah pihak. Jika Freeport bertahan dengan sikapnya menolak usulan pemerintah.
Maka tidak ada pilihan lain, Freeport harus angkat kaki dari Indonesia, dan itu akan membuat saham mereka pasti rontok di bursa saham. Sebaliknya, Indonesia akan kehilangan pendapatan dari sisi pajak, royalti, pendapatan negara bukan pajak dan rakyat akan kehilangan pekerjaan.
"Saat ini pemerintah sudah mengupayakan peningkatan penerimaan negara dari berbagai sumber-sumber yang memungkinkan secara aturan perundang-undangan. Jangan sampai, kasus Freeport ini justru membuat kita kehilangan pajak pendapatan dan kontribusi lainnya," ujarnya.
Berdasarkan data Freeport pada 2015, jumlah karyawan perseroan mencapai 12.085 orang, dengan komposisi pekerja asli Papua 4.321 orang (35,76 persen), pekerja non Papua 7.612 (62,98 persen) dan pegawai asing 152 orang (1,26 persen).
"Sekarang ini sejumlah 12.085 orang mencari nafkah di lokasi tambang Freeport tersebut, harus ada kepastian dari pemerintah," ujarnya.
Ali juga mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan beberapa hal berkaitan dengan skema divestasi; Pertama sumber pembiayaan divestasi saham harus jelas. Dalam postur APBN saat ini tidak tertera item anggaran untuk tujuan divestasi saham freeport tersebut.
Dirinya khawatir, jangan sampai niatan ini ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu. Memanfaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan yang bisa merugikan kepentingan negara.
Oleh karena itu, skema divestasi saham harus dibuat dengan se transparan mungkin, perusahaan mana yang akan mendapatkan saham tersebut.
"Jangan sampai perusahaan dalam negeri menggunakan biaya pinjaman dana asing. Pada akhirnya, substansi divestasi saham menjadi sirna karena hanya akan berpindah tangan tetapi tidak mengubah masalah pokok, yaitu kontrol negara," ujarnya.
"Kita semua mendukung upaya untuk peningkatan penerimaan negara dengan memperbanyak sumber. Tetapi desain divestasi saham Freeport harus jelas skemanya, betul-betul dilakukan secara tranparan, akuntabel, benar-benar untuk kepentingan nasional. Agar publik tidak bertanya-tanya mengenai motivasi divestasi saham," tambahnya.
Ali juga berharap, baik Pemerintah dan pihak Freeport harus mengutamakan dialog untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dan produktif.
"Jangan sampai tindakan gegabah dan emosional justru membuat kepentingan kedua belah pihak dirugikan," ujarnya.