TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terkait ucapan demokrasi yang kebablasan, Presiden Joko Widodo dinilai hanya gamang karena secara tidak sadar masuk dalam struktur kekuasaan yang datar atau flat.
Joko Widodo dinilai bukan antidemokrasi, hanya memang Jokowi kini menghadapi kenyataan bahwa kekuasaan yang sekarang tidak sama lagi dengan kekuasaan yang sebelumnya yang bisa mengendalikan lalu lintas informasi.
Kemunculan Jokowi adalah saat rakyat tidak menyukai elite politik yang sudah ada.
Selain itu, rakyat kini bisa berbicara bebas ditambah derasnya perkembangan tekonologi informasi sehingga tidak mungkin seperti rezim orde baru yang mengandalkan tentara untuk mengontrol pemberitaan.
"Mungkin demokrasi yang dihadapi Jokowi ditambah maraknya digital, dia tidak sadar masuk dalam struktur kekuasaan yang flat," kata Fachry Ali, seorang kolumnis dan peneliti, di Gado-Gado Boplo, Jakarta Sabtu (25/2/2017).
Teknologi informasi, kata Fachry, telah membuat masyarakat menjadi indvidu yang otonom.
Masyarakat tidak lagi bergantung pada pengontrol sumber-sumber berita bahkan media massa arus utama.
Masyarakat bahkan kini bisa langsung mengungkapkan pikirannya atau apa saja melalui akun media sosial yang dimiliki.
"Lalu bisa menyebar di dalam jutaan pembaca melalui diseminasi digital.
Media massa sekarang kian ditantang oleh medsos yang semakin bebas," kata dia.
Fachry menduga demokrasi yang disebut Presiden Jokowi sebagai demokrasi yang kebablasan adalah media digital yang kini tak seorang pun bisa mengontrolnya.
Fachry berpendapat sebenarnya bukan demokrasi yang bablas, namun aktor-aktor yang manfaatkan teknologi informasi tersebut.
Dalam konteks budaya, Fachry menilai Jokowi adalah pemimpin yang melihat Jawa dari unsur Indonesia, bukan melihat Indonesia dari unsur Jawa meski Presiden lahir dan besar di Solo.
Itu bisa dibuktikan ketika Lebaran pertama sebagai presiden, Presiden berada di Aceh, Natal di Papua dan lain sebagainya.
Ini adalah di luar kebiasaan presiden sebelumnya yang selalu menyelenggarakannya di Jakarta.
Dari contoh tersebut, Fachry yakin jika Presiden sangat cocok dalam demokrasi, hanya saja memang Jowoki tidak sadar kekuasaannya kini berada dalam ruang yang datar.