TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sulit untuk mempercayai bahwa siswa Sekolah Taruna Nusantara (STN), AMR (15), tega membunuh temannya sendiri Kresna Wahyu Nurachmad (15) hanya karena kesal telepon genggam miliknya disita sekolah karena ulah korban.
Ahli Psikolog Forensi, Reza Infragiri Amriel, menyebut emosi seorang remaja seperti AMR memang cenderung meledak-ledak dan suka mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang.
Namun hal itu belum cukup untuk dijadikan dasar memahami motivasi pelaku melakukan pembunuhan tersebut.
"Tetap sulit ya menerima teori itu juga berlaku di STN, mungkinkah ada masalah menumpuk, sehingga sakit hati hanya pemicu," ujarnya saat dihubungi, Senin (3/4/2017).
Baca: Rekonstruksi Kasus Pembunuhan SMA Taruna Tertutup
Atas kasus pembunuhan Kresna Wahyu Nurachmad, perlu untuk memeriksa lebih dalam kehidupan AMR.
Mulai dari relasi pertemanan, perkembangan psikoseksual, prestasi belajar hingga kondisi keluarganya apakah ia memiliki permasalahan di rumah.
Mengacu pada kenyataan bahwa AMR adalah siswa yang lolos seleksi STN yangg terkenal ketat itu, bisa disimpulkan bahwa pelaku tergolong anak yang cerdas, dan dipastikan memiliki pemahaman untuk membedakan hal yang benar dan yang salah.
Pelaku juga diduga masih memiliki empati.
"Itu ditunjukan saat dia, seperti diberitakan banyak media, sempat mengucapkan maaf sebelum beraksi," terangnya.
Ada atau tidaknya gangguan kejiwan terhadap pelaku yang memicu aksi pembunuhan itu, hal tersebut menurut dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu hanya bisa dibuktikan melalui kejiwaan.
Reza Indragiri Amriel mengingatkan bahwa sangat penting jika nanti pelaku divonis bersalah oleh pengadilan, pelaku juga harus menjalani berbagai proses rehabilitasi, agar nantinya bisa diterima oleh masyarakat.